SEBUAH
RESENSI
Dari buku : Filsafat Agama
Penulis : David Trueblood
Penerjemah : Prof.
Dr. H.M. Rasjidi
Penerbit : PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987
Oleh : David Kurniahuda
Analitis Terhadap Sistem
Penulisan Buku:
BAB
I
KITA PERLU MEMIKIRKAN TENTANG AGAMA
Sebelum kita menginjak pada pelataran obyek dari buku ini, beserta metode
dan pencapainya lebih dulu akan dijelaskan suatu perkataan yang dipahamkan
secara keliru, yakni perkataan filsafat dan agama. Kedua
perkataan ini meliputi bidang yang sama, yaitu bidang yang disebut dalam bahasa
inggris Ultimet, yakni bidang yang terpenting yang menjadi soal hidup
atau mati seseorang, dan bukan merupakan persoalan yang remeh.
Di dalam bab ini Trueblood menerangkan bahwa perbedaan antara agama dan
filsafat tidak terletak dalam bidangnya, akan tetapi dalam caranya kita
menyelidiki bidang itu. Filsafat berarti berfikir, sedang agama berarti
mengabdikan diri. Orang yang belajar berfilsafat tidak saja mengetahui soal
filsafat, akan tetapi yang lebih penting lagi ia dapat berfikir. Begitu juga
orang yang belajar agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi
memerlukan membiasakan dirinya untuk dengan hidup secara agama.
Seolah -olah dengan suatu pemikiran diatas terselip ketergesa-gesaan
trueblood untuk mendikotomi suatu hal yang kemungkinan keduanya dapat menyatu
dalam kecenderungan di dalam orang beragama yang sedang memikirkan
kesadaran keberagamaanya yang menggiring pada berfikir filsafat maupun orang
yang sedang berfikir/berfilsafat tentang untuk apa ia dihidupkan atau
pertanyaan-pertanyaan yang mendesak lainnya, yang mengantarkan seseorang
kemudian hidup sebagaimana tercantum pada nilai-nilai agama. Dan apabila
definisi Trueblood diatas kita tarik dalam konteks kebudayaan dan peradaban akan
akan menempatkan agama dalam ruang-ruang yang sepit dan pengab dikarenakan
sebuah pandangan bahwa agama yang ditumbuhkan oleh kebodohan dan kejumudan,
yang berarti mengingkari apa yang telah diharapkan Tuhan sebagi subyek di dunia
dengan pikirannya. Sedangkan filsafat menempatkan diri sebagai subyek yang
menciptakan “corak kehidupan” di dunia dengan “raksasa” ilmu pengetahuannya, terlepas
sisi buruk maupun baiknya. Karena bagaimanapun agama yang menganjurkan
pengabdian diri terhadap Tuhan, selalu saja tidak bisa dilepaskan diri yang
berfikir/ berfilsafat dalam prosesnya dalam memahami hidup dan kehidupan. Atau
filsafat secara ideal membutuhkan nilai-nilai agama untuk menjiwai dari
hasil-hasil ilmu pengetahuan yang diciptakannya menjadi sesuatu yang tidak
hanya di butuhkan oleh manusia akan tetapi juga membawa kebaikan hidup manusia dan
alam secara menyeluruh.
Trueblood juga menyatakan bahwa rangkaian pemahaman yang didasarkan atas perbedaan
metodologi filsafat dan agama dalam menyelidiki bidang-bidang tertentu akan
berimplikasi pada sebuah anggapan bahwa dialectical materialism juga
merupakan agama, dikarenakan pengikutnya merasa kewajiban untuk menyebarkan
pahamnya. Mungkin pendapat ini disetujui
jika kita memandang pada jurusan pengabdian itu saja, walaupun dialectical
materialism tidak mengandung sesuatu isi yang bersifat ketuhanan.
Sesungguhnya apabila kita melihat sebuah anggapan di atas kita bisa
memahami dan bisa menjelaskan tidak hanya dialectical materialism yang
menciptakan sebuah bentuk pengabdian, akan tetapi tiap-tiap akhir dari suatu
proses berfikir yang sungguh-sungguh akan menciptakan sebuah bentuk pengabdian
walaupun itu tidak mengandung hal yang bersifat ketuhanan. Tapi kemudian kita
akan bertanya, bentuk pengabdian yang
bertujuan apakah yang tidak menempatkan unsur keTuhanan, selain hal itu adalah
aspirasi dari sebuah ketidakjujuran yang tersembunyi . Sehingga kita bisa
melihat bahwa kata “pengabdian” yang terasa agung ternyata memiliki sebuah
muatan yang sangat bisa berbeda.
Akan tetapi kita akan mengetahui sebuah akibat yang lazim dan dapat kita
mengerti sebabnya dari pemakaian metode yang berbeda dari filosof dan agamawan
dalam memandang kebenaran. Seperti yang diungkapkan oleh Trueblood “ Ahli
fisafat, jika ia berhadapan dengan penganut sebuah aliran pemahaman yang lain
bisanya akan bersifat lunak, oleh karena itu ia sanggup meninggalkan
pendiriannya apabila merasa dirinya salah, sebaliknya agamawan akan
mempertahankan secara habis-habisan, karena ia sudah mengikat dirinya dan
mengabdikan dirinya padanya.”
Sebuah paradigma berfikir yang menafikan sebuah kebenaran yang dari
manapun datangnya, walaupun itu dari agamawan maupun filosof adalah sebuah hal
yang paradoks dari sebuah pencapaian yang sebenarnya diharapkan dan makna
kebenaran sekaligus cara yang harus ditempuhnya. Untuk itu trueblood menawarkan
sebuah alternative dalam penyelidikan tentang agama dengan menggunakan metode
yang dipakai plato (filosof yunani, 429-347 M) dan Kant (Filosof Jerman,
1724-1804).metode ini dapat dinamakan kritis dan dialektis. Yaitu sebuah metode
yang berusaha untuk bersikap adil terhadap pendirian-pendirian yang
bertentangan, tidak dengan menghargai pendirian-pendirian itu dengan cara yang
kaku, akan tetapi selalu bertanya pada tiap-tiap problem, apakah akibat-akibat
problem itu. Suatu pendirian kelihatannya baik dan masuk akal akan tetapi
apabila kita teliti sedalam-dalamnya, kita akan mendapatkan keterangan yang bertentangan.
BAB II
AGAMA
DAN FILSAFAT
Dalam bab ini trueblood mengajak pembaca untuk lebih jernih dalam
memandang filsafat dan agama. Atau setidaknya menggambarkan pemikiran Trueblood
sendiri dalam melihat agama dalam perspektif filsafatnya. Menurutnya, kita
dapat mempelajari suatu agama, termasuk didalamnya sejarah alam fikiran dalam
agama itu, kita dapat pula membaca literature-literatur keagamaan atau dapat
pula mempelajari cara-cara ibadat dalam suatu agama atau pelajaran-pelajaran
tertentu dalam masyarakat yang beragama itu.
Akan tetapi yang lebih penting adalah mempelajari cara yang dinamai
mempelajari kritik yang simpatik terhadap suatu agama. Sebagaimana kita ketahui
bahwa sukar bagi seseorang yang menganut agama dengan sifat yang bersemangat
memandang agama lain dengan rasa cinta dan hormat. Mau tidak mau bahwa
pandangan ini memberikan sebuah ruang refleksi bagi para agamawan bahwa bentuk
perasaan yang menegasi keberadaan agama lain sebagai bagian dari kenyataan
dalam kehidupan merupakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap perintah dalam
agama itu sendiri.
Munculnya sebuah keragu-raguan para filosof berawal dari yunani kuno,
banyak sekali perbincangan mengenai keyakinan-keyakinan mereka tentang
dewa-dewa dan watak-wataknya mengakhiri dengan kesimpulan bahwa yang mereka
akui sebagai dewa itu adalah khayal belaka. Begitu juga cerita-cerita dalam
epik Mahabarata dan Ramayana,walaupun kemudian diketahui sebagai khayalan
pengarang-pengarangnya walaupun karya mereka merupakan karya sastra yang
mempunyai nilai budaya tinggi.
Oleh karena itu sebuah Zat yang kita sembah lima kali dalam semalam dan
sekali seminggu dalam jum at masjid merupakan suatu khayalan pula??? Disinilah
Trueblood mengajak kita untuk mengoreksi atau melakukan kitis dialektis lebih
dalam mengenai keyakinan kita, yang mungkin saja tidak pernah tersentuh
upaya-upaya penyelidikan yang sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya yang harus
kita ketahui bukanlah merupakan sebuah benda, akan tetapi apa yang sesungguhnya
ada.
Kebenaran utu bersifat kompleks, tdak sederhana, oleh karena itu perlu
menerangkan bermacam-macam pandangan yang berlainan atau bertentangan akan
tetapi harus dikemukakan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dalam membicarakan
soal-soal pertentangan kita harus menjaga dari dua kesukaran, pertama,
kita harus menjaga diri dari sikap suka menolak apa yang kita tidak setujui, kedua,
kita harus menjaga diri dari sikap suka menerima apa yang kelihatannya dapat
kita setujui. Sesungguhnya yang ditawarkan ini bukanlah suatu sikap yang akan
menciptakan skeptisme, akan tetapi menawarkan sebuah jalan kesabaran dalam
melakukan sebuah penyelidikan yang adil. Atau setidaknya mungkinkah penyelidikan
terhadap agama akan bersifat netral?? Seorang ahli agama Protestan Paul
Tillich, mengatakan seorang yang bersikap netral dalam menyelidiki agama sudah
barang tentu ia menolak bahwa agama itu suatu hal yang Ultimate, soal hidup dan
mati. Sikapnya itu sudah diartikan bahwa ia memungkiri hal yang semestinya
harus dipelajarinya dengan jujur. Jadi sebaik-baiknya sikap adalah sikap
seseorang yang sungguh sungguh ingin mengetahui kebenaran itu dimana saja
terletak dan bersedia untuk mendasarkan keterangan orang lain, yang mungkin
akan memudahkan usahanya untuk mendapatkan kebenaran itu.
Sebenarnya trueblood mencoba untuk membuka kelemahan paradigatis para
agamawan bahkan para filosof sendiri dalam proses mencari sebuah kebenaran
dengan cara menampilkan sebuah kerangka piker yang terbuka. Dalam pengertian
akal dibebaskan untuk mencari sebuah kebenaran dari mana datanganya dan
dibebaskan dari atribut-atribut yang menjebak, walaupun itu berasal dari
perasaan (memiliki kebenaran).
Pascal (filosof Perancis, 1623-1662) ahli agama Kristen mangatakan ” Adalah
bahaya kalau kita menunjukkan manusia sebagai mkhluk yang mempunyai sifat-sifat
binatang, dengan tidak menunjukkan kebesaran manusia sebagai manusia,
sebaliknya adalah berbahaya menunjukkan manusia sebagai makhluk yang besar
dengan tidak menunjukkan kerendahannya dan lebih berbahaya lagi kalau kita
tidak menunjukkan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali”
Terkait akal dan wahyu trueblood terjebak dalam pengklasifikasian yang
didasarkan pada dialektika sejarahnya, sehingga memunculkan sebuah pembagian
agama didasarkan pada pemikirannya terhadap wahyu itu diturunkan, yaitu adanya
agama langit dan agama bumi. Klasifikasi semacam ini dalam konteks keotentikan
sebuah agama menempatkan tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dalam tempat
yang lebih tinggi dari pada agama-agama bumi (hindu, budha, konfusiusm dan
dll). Penempatan ini membangun watak superioritas atau setidaknya mematahkan
sendiri semangat yang di bangun dalam berfilsafat dengan cara membuka pintu
kebenaran yang datangnya dari manapun. Dalam Kitab Suci Al Quran, Allah swt
berfirman, “ Dan mereka berkata : Seandainya kita mendengarkan dan memikirkan,
tak mungkin kita akan menjadi penghuni neraka.” (QS. 67 :10)
BAB
III
KEMUNGKINAN
MENCAPAI KEBENARAN
Ada suatu hal yang menarik yang di tulis oleh Trueblood sebagai berikut “
jikalau keseluruhan atau sebagian suatu agama tidak benar,kita harus
menolaknya. Untuk memelihara suatu kepercayaan yang tidak benar, walaupun
kepercayaan itu berfaedah bagi masyarakat, adalah suatu sikap yang bertentangan
dengan diri sendiri. Jikalau suatu agama itu tidak benar maka agama itu jahat.
Jikalau Tuhan itu tidak ada maka doa adalah membuang-buang waktu saja dan tidak
dapat dipertahankan. Jika tidak ada kehidupan sesudah mati, sebaiknya kita
mengetahui hal tersebut dengan bukti-bukti yang nyata dan selekas mungkin”.
Dalam bab ini Trueblood mencoba untuk menyingkap dan menunjukkan
cara-cara berfikir yang terperangkap dalam sebuah kebuntuan atau penegasian
berfilsafat, yang dalam kelanjutan waktu justru akan membatasi dari kebenaran
yang dicarinya (walaupun sebenarnya aliran-aliran dalam filsafat mempunyai cara
dan corak sendiri dalam mengartikan sebuah kebenaran) Model filsafat
eksistensialismenya, yang tidak terjebak dalam sebuah nihilismenya maupun
kebuntuan metodenya banyak memberikan sebuah keterangan-keterangan yang begitu
jelas dalam melihat sebuah model filsafat yang lain beserta kelemahan-kelemahan
yang menghinggapinya dalam memandang agama.
Salah satu yang disebutkan adalah kelemahan subyektifisme., sebuah
anggapan bahwa kebenaran adalah suatu hal yang mengenai seseorang yang
bersangkutan. Akibat dari logika dari anggapan seperti ini, suatu hal yang ada
buat seseorang dan tidak ada buat orang lain, adalah sama halnya sebuah teori
yang mengatakan bahwa pengetahuan itu hanya menunjukkan apa yang terdapat pada
pikiran orang yang mengetahuinya. Pendapat seperti ini dalam konteks
keberagamaan, sama halnya mengamini sebuah anggapan bahwa Tuhan hanya pada
orang-orang yang beragama. Keimanan hanya diwajibkan bagi orang yang mengetahui
Tuhan dalam kesadarannya. Kalau kita teliti pemahaman ini terlihat bahwa
subyektifisme menutup keterbukaan Obyektifitas untuk diketahui oleh semua orang
menjadi sebuah potongan-potongan subyektifitas yang kehilangan keotentikannya.
Karena menurut pandangan ini letak kebenaran adalah pada tiap-tiap pikiran
walau bagaimanapun pikiran itu, bukan terletak pada apa yang sesungguhnya ada.
Dan anggapan semacam ini sama halnya mengatakan bahwa Tuhan bukanlah adalah Dzat
Yang Rahman dan Rahim.
Sebaliknya hanya saja letak berbahayanya obyektifisme (rasa memiliki
kebenaran sepenuhnya) dalam kehidupan adalah menciptakan sebuah sikap menutup
sebuah kemungkinan-kemungkinan kebenaran dari orang lain. Atau menutup
penyelidikan lebih lanjut karena merasa sudah memiliki kebenaran, sehingga akan
menciptakan benih-benih kejumudan dalam kelanjutannya. Sehingga mencederai
sendiri dari makna obyektifitas yang ia pahami. Dan apabila kita kaitkan dalam
kehidupan keberagamaan, bersikap mutlak dalam beragama akan lebih berakibat
negative dalam sebuah lingkungan yang pluralitas dalam pemeluknya. Karena tidak
hanya lain komunal perbedaan pikiran itu ada, tapi tiap-tiap pikiran sangat
memungkinkan perbedaan itu ada walaupun itu satu komunitas.
Selanjutnya model kritis dialektis yang dikembangkan oleh Trueblood juga
membuka tirai kesulitan-kesulitan yang menghinggapi oleh realisme, yang
terletak bukan pada apa yang sesungguhnya ada akan tetapi pada kesulitan
pikiran untuk mencapainya dalam mengetahui. Begitu juga dengan pragmatisme,
yang beranggapan bahwa suatu keterangan itu benar, kalau relaitas itu sesuai
dengan yang diterangkan.
BAB IV
RAHASIA PIKIRAN BEKERJA UNTUK MENGETAHUI
SUATU PERKARA
Dalam bab ini yang ditulis bantahan Trueblood terkait anggapan sebagian
filosof yang memandang rendah terhadap agama sebagai berikut “ kita harus
menolak mentah-mentah anggpan beberapa orang yang mengatakan agama hanya dapat
hidup subur di atas kebodohan, karena dasarnya itu merupakan hal-hal yang tidak
dapat diketahui oleh manusia. Kalau anggapan itu kita terima, akan berarti
bahwa bidang keagamaan akan menjadi lebih kecil pada tiap waktu manusia
mempunyai pendapat baru di bidang pengetahuan”
Terkait uangkapan diatas Trueblood, menerangkan dengan jelas bagaimana
pikiran dapat mengetahui sesuatu di luar dirinya. Metode kritis dialektis yang
dikembangkannya tidak hanya memberi keterangan banyak hal terhadap proses
mendapatkan pengetahuan akan tetapi juga berani “menghakimi” pikiran sendiri terhadap kemungkinan-kemungkinan pikiran
terjerat pada kesalahan metode berpikir dalam sudut pandang filsafatnya.
Suatu hal yang menarik pula untuk disimak adalah bahwa kebanyakan dari
kita tidak terlalu pusing memikirkan bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu hal
diluar kita dengan pikiran, bagaimana sesuatu yang dapat diketahui dengan
pikiran beralih menuju perasaan dan bagaimana sebuah pengatahuan dapat
diketahui oleh orang banyak. Pandangannya mengenai hal ini membuat kita ingin
berlama-lama untuk mengetahui lebih dalam lagi. Sebenarnya tanpa disadari bahwa
penjelasan-penjelasan semacam ini mengukuhkan bahwa Trueblood dengan fisafatnya
mengantarkan pada sebuah ilmu murni/ unity atau wahdah. Yang selanjutnya
menbuka selubung-selubung kebuntuan metodologis pada metode-metode alternative
dan pemahamannya yang mendekati pada obyektifitas telah meneranginya dalam
memahami sisi parsialitas dengan menyeluruh. Walaupun bahasa yang digunakan
begitu ringan dan mudah dipahami.
BAB V
BUKTI-BUKTI
DAN SIFAT-SIFATNYA
Dalam mencari sebuah kebenaran konteks filsafat, tentulah suatu hal yang
tidak boleh tidak adalah menghajatkan sebuah bukti. Dikarenakan bukti ini
adalah salah satu mata rantai yang mengantarkan pada sebuah kebenaran. Artinya
bukti ini adalah membicarakan dalam dirinya pada pikiran, bahwa bukti adalah
sebagai kumpulan puzzle yang bercerai berai atau kalau bukan satu bukti telah dapat
menunjukkan sebuah kebenaran. Dalam pandangan Trueblood, bahwa kebenaran itu
bersifat kompleks sehingga didalamnya terdapat lapis-lapis yang akan terbuka
untuk kita pahami untuk menuju pada kebenaran. Dan “lapis” inilah yang kurang
lebih dikatakan sebagai bukti.
Dalam mencari bukti Trueblood menyandarkan pada beberapa hal, yang
pertama Authority adalah bukti yang dapat diterima. Menurut yang dia
gambarkan dal;am contoh, kita didak dapat mngetahui sebuah penyakit dengan pengetahuan yang benar tanpa menyandarkan
pada seorang dokter yang ada dibidangrnya, bukan bertanya pada seorang tentara.
Atau kita akan bisa mengetahui sebuah metode pengajaran dengan baik bila tidak bertanya pada seorang guru, bukan pedagang.
Dan contoh-contoh sejenisnya. Walaupun hal ini terlihat benar tanpa celah, akan
tetapi hal semacam ini akan benar-benar menyisakan sebuah pertanya pada kita,
seberapa mampukah dokter mengetahui yang sebenarnya terhadap sebuah penyakit??
Atau seberapa pahamkah guru memahami metode pengajaran yang baik?? Diamanakah
standar dari pemahaman tentang penyakit dan metode pembelajaran yang bisa
dikatakan baik?? Hal ini perlu kita pertanyakan dikarenakan sifat pengetahuan
itu selalu dinamis. Akan tetapi lagi-lagi kita akan menyadari bahwa untuk
menyandarkan pengetahuan kita terhadap orang yang lebih tahu adalah sebuah
upaya pula untuk mencari sebuah kebenaran juga. Sedang bukti yang kedua adalah Intuisi,
menurutnya intuisi yang baik adalah orang-orang yang sudah lama berpengalaman
dan berkecimpung dalam suatu perkara. Sesungguhnya fungsi logika adalah tidak
untuk memimpin pikiran kita untuk bekerja sesudah pikiran memperhatikan
bahannya. Dan menurutnya fungsi dari intuisi adalah menambah perasaan kita dan
mempertajam kesadaran kita, yang akan menjadikan seseorang untuk mengetahui
kebenaran ketika kebenaran itu terlihat.
BAB VI
HIPOTESA TENTANG ADANYA TUHAN
Disinilah sebenarnya penulis beranggapan bahwa filsafat dan agama itu
bisa menyatu dalam mencapai sebuah kebenaran, walaupun tidak mutlak dalam
konteks kemanusiaan. Diatas telah dituliskan bahwa apabila agama itu tidak
benar, maka agama itu jahat walaupun sefaedah apapun agama itu bagi masyarakat
dikarenakan bertentangan dengan diri sendiri. Kata “tidak benar” bermuatan
terhadap hal-hal yang bertentangan dengan akal. Ini memberi pengertian bahwa
agama adalah sebuah kepercayaan yang didasarkan pada sebuah akal sehat yang
menjadi fitrah bagi manusia. Dan diri sendiri, yang digambarkan jiwa dan raga
beserta potensinya adalah sesuatu yang rasional, dan apabila pikiran dalam
upayanya mengantarkan pada suatu hal yang tidak benar, sesungguhnya itu
bertentangan dengan diri sendiri. Dan apabila ilmu pengetahuan yang terlahir
oleh rahim filsafat menciptakan sebuah produk yang bertentangan dengan sebuah
“diri” individu maupun massa baik dari sisi nilai,fungsi dan akibatnya maka
pastilah bahwa produk ilmu pengetahuan tiu tidak benar.
Dalam pembahasan mengenai bab diatas Trueblood menulis ” susunan kata ‘Tuhan
itu ada’, tidak hanya sesuatu ide yang terdapat dalam pikiran (mind)
manusia, akan tetapi menunjukkan bahwa Zat yang dinamakan Tuhan itu berwujud
yang obyektif, yaitu sudah ada sebelum kita sadar akannya dan sekarang tetap
ada baik manusia menyadari atau tidak”. Sesungguhnya yang ditulisnya itu
mungkin jadi sebagai hal yang dapat mengungkapkan dalam diri kita mengenai
perkataan Tuhan yang kita maknai sebagai apa yang terdapat dalam waktu yang
bersifat azali dan abadi. Ini sebenarnya menunjukkan antara yang riil dan yang
hayal. Trueblood juga memberikan perkataan yang dapat kita jadikan sebagai
bahan refleksi “ Apakah zat yang kita serahkan hidup dan mati kita kepadanya
itu hanya suatu hasil dari cita-cita atau kemauan kita atau apakah zat itu
merupakan sesuatu yang lebih dari cita-cita dan kemauan??”
Dan selebihnya pembahasan menjelaskan mengenai kemungkinan manusia
mapercayai sedalam-dalamnya akan keberadaan Tuhan dengan diakhir proses
berfilsafatnya, yang dengan ini membuka pintu selebar-lebarnya untuk lebih
mengetahui juga kemungkinan seseorang yang dengan proses berfikirnya yang
sungguh-sungguh berakhir pada ketidakpercayaan adanya Tuhan. Dalam konteks
filsafat, hasil apapun itu yang didapat dari sebuah proses yang sungguh-sungguh
haruslah tetap mendapatkan penghormatan yang tidak terkurangi. Theistic
relism adalah aliran filsafat yang khusus mempelajari hal ini.
Apabila kita fikirkan bahwa ketidakpercayaan seseorang terhadap Tuhan, setelah
melalui proses yang sungguh-sungguh dalam berfikir/berfilsafat tetap saja
menunjukkan sebenarnya kekurang jujuran terhadap diri sendiri sangat berperan
dalam menghalangi akhir dari sebuah pencapainnya atas kebenaran. Akan tetapi
hal ini dalam konteks filsafat, lebih berharga dari sebuah kepercayaan yang
tanpa melalui proses pengujian.
“ Dan aku tidak menganggap diriku sepi dari kesalahan sesungguhnya
nafsu manusia itu selalu memerintahkan untuk melakukan kejahatan” ( QS.
Yusuf : 53)
KELEBIHAN
DARI BUKU INI :
Buku ini termasuk dalam kategori lawas seperti yang tertulis pada tahun
percetakannya, sehingga mungkin kita bisa membayangkan bahwa segala isinya akan
tertinggal oleh evolusi dari perkembangan dalam dunia pemikiran filsafat yang bergerak
secara dinamis. Akan tetapi kita bisa mempertanyakan untuk tidak tergesa-gesa
mempersepsikan segala sesuatu yang lawas itu selalu tidak muatan isi yang kontekstual.
Atau ternyata dalam konteks keberagamaan kita mungkin saja sudah jauh pemahaman
kita mengenai dialektika sejarah dan hokum-hukum yang tercipta olehnya, akan
tetapi kita luput terhadap hal yang nyata-nyata dekat dan sangat mendasar.
Kemungkinan buku ini bisa menjawab menjawab hal tersebut.
Trueblood dengan aliran filsafat eksistensialisme dan dipersenjatai
dengan metode kritis dialektisnya bisa dikatakan mampu menerangkan sebuah
kekaburan pemahaman atas sesuatu dengan garis-garis yang jelas. Garis-garis ini
bermakna bahwa tiap-tiap hal yang kita coba pahami, sedang kita masih kurang
peralatan mengarungi dari pengetahuan tentang obyek akan menyisakan sikap skeptis.
Dan skeptis inilah kekaburan yang penulis maksud. Dikarenakan skeptis adalah
berisi tentang sebuah hal yang riil dan
hayal yang menyatu. Sesuatu yang obyektif adalah tersendiri baik
diketahui maupun tidak dan sesuatu yang hayal adalah bentuk yang bertentangan
untuk menuju dalam memahami yang obyektif. Dan disinilah Trueblood mencoba
memisahkan hal yang obyektif dari balutan subyektifisme. Sehingga akan menampak
obyektifitas sesuatu dengan apa adanya, walaupun tidak mutlak. Dan menjelaskan
tiap-tiap isi dari subyekifisme beserta kelemahannya. Memang sesungguhnya tidak
ada kemutlakan apa pun dari manusia dan hasil-hasil dari upayanya. Dan karena
itulah pengetahuan, dalam hal ini filsafat selalu dinamis.
Metode kritis dialektis yang dikembangkan oleh Trueblood dalam memikirkan
hal-hal yang penting dan mendesak dengan sendirinya mengantarkan
pembaca dalam sebuah pemahaman, bahwa kekakuan pemikiran kita pada dasarnya
karena banyaknya hal sekeliling kita yang ternegasi dari kesadaran kita untuk
difikirkan. Di karenakan sebuah dikotomi yang tercipta oleh sesuatu yang kita
anggap terlalu penting, sehingga menimbun realitas lainnya. Perlakuan yang semacam ini melumpuhkan
kepekaan kita dalam melihat sisi pergerakan dan dinamika dari realitas dan yang “Berdiam” dibaliknya. Hal ini sering
digambarkan oleh penulis buku bagai memakai kaca mata kuda. Dan sungguh disayangkan
memang dalam kenyataan pemikiran kita sering melihat dirinya sendiri.
Penjelasan Trueblood terkait cara kerja pikiran dalam memahami sesuatu,
bukti-bukti, bab keindahan, atau bahkan hipotesa adanya Tuhan memberikan
pengertian sendiri, bahwa pikiran denngan segala keterbatasannya haruslah
membuka diri dari sesuatu diluar dirinya untuk memahami dan dipahami sebagai
upaya untuk menemukan kebenaran. Atau lebih tepatnya bahwa membiarkan fikiran
untuk bebas memikirkan sesuatu yang dapat dipikirkan adalah bagian dari sifat
dasar pikiran itu sendiri.
KELEMAHAN
BUKU:
Untuk menilai kelemahan dari
buku ini penulis harus “keluar” dari subtansi kajian buku. Dikarenakan
memang banyak hal yang baik untuk kita pelajari didalamnya. Akan tetapi penulis
menemukan hal yang sangat terlihat sebagai kelemahan, dikarenakan banyaknya hal
yang ingin Trueblood bahas diupayakan dalam mendekati obyektifitas. Kelemahan itu adalah menciptakan
terlalu lama”asik maksuk” dengan rasa pencapaian yang dimiliki. Pembahasan yang
seterang-terangnya ini hanya menjadi hal yang beku kembali ketika hanya
bergelut pada pencapaian pemahaman pada ilmu murni/ unity setelah kita
dihadapkan pada sebuah relita empiristik, khususnya terkait nilai yang
“mendiami” setiap hal yang factual dan dinamis, sedang hal ini selalu berganti
kemasan seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia. Karena
sesungguhnya (menurut penulis) sebuah pengetahuan setelah dipahami akan
menggerakkan seseorang untuk melaksakan kemanusiaanya lebih progresif. Jadi
kalaupun filsafatnya Trueblood tentang agama menjeburkan diri pada kedalaman
yang obyektif, bukan berarti bahwa agama itu jumud.
Upayanya untuk menemukan kelemahan-kelemahan pada aliran filsafat lain
disamping ketajamannya dalam menerangkan kelemahan itu, sesungguhnya teori yang
dia suguhkan sebagai pengakuannya yang luput untuk disadari dalam membutakan
diri akibat yang ditimbulkan dalam berpikir filsafat itu sendiri.