Selasa, 27 Maret 2012


Integrasi imtaq dan iptek, benarkah??
Oleh : David kurniahuda
Dalam UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 3:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, yang demokratis serta bertanggung jawab.
Integrasi imtaq dan iptek dalam pendidikan diharapkan menciptakan seorang pribadi yang utuh. Selain pendidikan itu mewujudkan pribadi yang beriman juga mengimplementasikan keimanannya dengan kolaborasi ilmu-ilmu umum yang menjadi kerangka kehidupan bermasyarakat berbangsa dan berragama yang tanggap terhadap sebuah perubahan.
Dapat kita katakan bahwa pendidikan agama menjadi landasan bagi setiap pribadi dalam menentukan visi dan misi yang jelas hidupnya sedangkan pendidikan umum yang dipelajari rangkaian profesionalitas tertentu yang harus dikuasai sebagai keniscayaan yang terhadap dinamika keilmuan yang juga sangat berperan terhadap perubahan kehidupan secara pribadi maupun secara umum yang terus berdinamika
Logika dari sebuah kondisi ideal diatas, adalah apabila ilmu pengetahuan dengan dasar ilmiahnya selaras dengan aqidah umat Islam maka, untegrasi keduanya dapat tercecap oleh pribadi siswa tanpa menimbulkan persoalan-persoalan yang paradox dikemudian harinya. Yang jadi persoalan adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang dikatakan “ilmiah” itu dalam tataran filosofis terbongkar sisi paradoksal dengan ilmu agama yang berdasarkan ketauhidan.
Persoalan integrasi  imtaq dan iptek.
Sebenarnya integrasi imtaq dan iptek bukanlah persoalan yang sederhana, iptek yang nota bene masih mengadopsi dari dunia maju (barat) yang landasan keilmuannya materialis posivitistik dan pragmatism. Yang hanya beranggapan bahwa segala macam ilmu harus berdasar sesuatu yang dapat diverifikasi oleh sesuatu yang bisa tercecap oleh indera manusia. Artinya tidak ada ilmu yang dilandasakan pada hal yang tak terlihat. Sedangkan disisi lain pendidikan Islam yang monoteisme (tauhid) mengharuskan bahwa sesuatu yang nampak adalah Aktualisasi dari Kekeuasaan Allah swt.
Penajabaran diatas bukan dimaksudkan sebagai penolakan terhadap ilmu pengetahuan yang telah ada, akan tetapi sebagai menilai kembali ilmu pengetahuan yang selaras dengan sebuah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha esa. Karena ketidak selarasan yang terjadi antara imtaq dan iptek menyebabkan kontradiksi yang terjadi dalam kondisi internal siswa yang akan dating.
Sebagai contoh konkret ilmu antamropologi yang  masih menempatkan teori evolusionis sebagai asal usul keberadaan manusia. Walaupun saat ini teori ini timbul tenggelam dengan adanya teori-teori yang menguatkan ataupun yang membantahnya. Sedang dalam pendidikan Islam yang menempatkan Nabi Adam sebagai cikal bakal keberadaan manusia. Hal ini menciptakan sebentuk pemahaman yang tidak tuntas. Apabila kebenaran itu bersifat satu dalam keberadaanya, sampai saat ini contoh kecil ini masih memberikan ruang keragu-raguan bagi siswa untuk menentukan kebenarannya. Artinya, ketika teori evolusi itu sebagai akhir dari sebuah penemuan ilmu tentang manusia, maka kebenarnnya setidaknya bisa dijadikan sebagai hasil. Akan tetapi hal ini dapat menjauhkan siswa dari agama. Dan  juga sebaliknya, apabila pendidikan agama Islam mengatakan manusia berasal dari Nabi Adam tanpa setidaknya memberikan bukti-bukti ilmiah dalam proses pendidikan, maka menggiring kesimpulan bahwa teori evolusionislah yang pantas untuk dipegang, walaupun saat ini tidak ada bukti yang menerangkan sebuah keadaan transisi manusia berevolusi.
Pemahaman yang tidak benar terhadap ilmu pengetahuan ditambah kurangnya nilai-nilai agama yang “membasahi” pemahan tersebut dalam memandang manusia seperti di atas berdampak pada sebuah pemahaman yang merendahkan sisi kemanusiaanya sendiri maupun orang lain pada umumnya. Begitu juga dengan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya yang dalam dunia pendidikan kita mengacu keilmuan ini pada dunia barat. Ketika keilmuan hanya berdasar materialistic pragmatis, selain sisi kelebihannya juga berakibat fatal dengan menghapus sisi spiritualitas yang berujung pada pereduksian manusia yang hanya bertitik tolak pada kebutuhan jasadi saja. Sehingga membuka kemungkinan ilmu pengetahuan tersebut terjadi penyalah gunaan.
Sekilas gambaran diatas adalah sebuah fakta yang sebenarnya kontradiktif dengan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan untuk menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa. Dikarenakan proses pembelajaran yang bertujuan untuk menemukan kebenaran masih terjerembab dalam dualistic ” kebenaran” yang masing-masing menemukan cara untuk meyakinkan kebenarannya. Integrasi imtaq dan iptek yang diharapkan bisa jadi malah berakibat sebaliknya disintegrasi atau terkotak-kotak tanpa jalinan. Hal ini menjadikan persoalan bagi siswa yang sungguh-sunguh yaitu dengan memilih satu jalan (ilmu pengetahuan murni atau agama) untuk menemukan sebuah kebenaran yang diyakini oleh siswa dari sekelumit contoh ini.
Integrasi imtaq dan iptek, bukanlah sebuah usaha islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah pada bentuk-bentuk formal, akan tetapi integrasi ini bermaksud “persetujuan” agama dengan landasan nilai-nilai yang terkandung dalam agama terhadap metode, isi dan produk dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Persetujuan bukan berarti hanya mengamini, akan tetapi juga sebuah keputusan yang dihasilkan dari keterlibatan bagi subyek pendidikan.  Dari sini sebenarnya terkandung hal yang signifikan, bahwa agama haruslah menjadi “promoter” sekaligus pembuka kegairahan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ilmu pengetahuan ilmiah dalam dunia pendidikan. Bukan hanya menjadi “hakim” yang kurang mempunyai bukti-bukti  dalam menentukan sebuah sebuah nilai dan hasil-hasil ilmu pengetahuan.Yang menjadi PR bagi kita adalah sebuah pertanyaan, apakah ilmu pengetahuan yang nota bene kita adopsi dari bangsa-bangsa maju bersifat netral tanpa kepentingan ideologis, politik, ekonomi dan sebagainya?? Jikalau pengetahuan itu netral pastilah tidak terjadi kontradiktif antara agama dan ilmu pengetahuan.
Peran imtaq dan iptek pada kesadaran anak didik
Integrasi imtaq dan iptek dalam konteks kesadaran adalah penyatuan dua hal yang sesuai dengan fitrah manusia dalam membina kehidupan di dunia yang lebih baik. Penyatuan dua hal tersebut tercipta dikarenakan adanya keselarasan baik subtansi maupun bentuknya. Sehingga dapat terwadahi oleh pribadi dalam keseimbangan dan keutuhan. Seimbang mengandung arti tidak menegasi satu sama lain antara imtaq dan iptek. Keseimbangan ini terwujud tidak lain ketika manusia beriman kepada Allah swt. Dan keutuhan mengandung arti imtaq dan iptek tersebut melebur menjadi satu dalam keserasian tanpa reduksi satu sama lain. Sehingga memunculkan aktualisasi iptek yang tidak beertentangan dengan nilai-nilai agama.
Kita ketahui bahwa dengan landasan imanlah pendidikan itu menjadi lebih bermakna dan mampu menghasilkan out put pendidikan yang mempu berperan dalam perbaikan di masa mendatang terhadap bangsa yang kita cintai ini. Akan komplektivitas kehidupan dalam tatanan bermasyarakat dan berbangsa telah merekontruksi bahwa persoalan  baik dan buruk tidak hanya menyangkut hal-hal mikro moral personal. Untuk itulah ilmu-ilmu umum harus bergandeng mesra dengan ilmu  agama yang diajarkan di pendidikan. Untuk merangkai kehidupan yang lebih sehat dan manusiawi.
Munculnya beragam persoalan bangsa seperti halnya, kemiskinan, ekploitasi alam berlebihan, korupsi, kolusi, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang kunjung usai bisa jadi oleh orang yang mempunyai kecerdasan dalam background pendidikan umum atau pendidikan agamanya. Sentuhan spiritualitas yang kurang dalam ilmu pengetahuan yang dikuasai menciptakan kecenderungan penyalahguanaan wewenang. Begitu juga dengan sentuhan pengetahuan ilmiah yang kurang dalam pendidikan agama seringkali  akan memunculkan sikap gegabah.
Untuk itu sudah tepatlah kalau dalam undang-undang No.20/2003 menempatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam urutan yang pertama yang setelahnya ketakwaan, berakhlak mulia, sehat dan bertanggung jawab. Karena dengan keimanan dan ketakwaanlah integrasi dengan iptek dapat menemukan format yang tepat.



CATATAN SINGKAT TENTANG HAKEKAT PENDIDIKAN
oleh: David Kurniahuda
Rosululloh saw bersabda “ jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqih dan berilmu pengetahuan. dan dikatakan predikat “rabbani” apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan, dari yang sekecil-kecilnya sampai tingkat yang lebih tinggi” (diriwayatkan oleh Bukhori dari Ibnu Abbas)
Pendahuluan
“Pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup”
Dari ungkapan dalam satu kalimat diatas dapatlah dipahami bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan adalah suatu proses hidup yang dijalani manusia dari bayi sampai meninggal dunia dalam menyadari kemanusiaanya.. bukan bermaksud mengesampingkan peran pendidikan dalam kehidupan yang  telah mengalami globalisasi (kehidupan mendunia tanpa batas). akan tetapi pengertian pendidikan telah mengalami sebuah pergeseran yang pelan tapi pasti dalam mendekonstruksi pengertian pendidikan hanya menjadikan manusia yang mekanistis, mengejar kuantitas pribadi mengsampingkan kualitas potensi dan kehilangan inti proses dalam kehidupan. yaitu manusia yang sadar sebagai abdillah dan sebagai khalifah fil ardh. inilah kenapa membahas tentang apa, bagaimana dan untuk apa pendidikan dalam arti dasarnya menjadi suatu keniscayaan yang terus-menerus perlu ditranformasikan sebagai salah satu usaha dalam merekontruksi pendidikan sesuai dari tujuan awalnya.
Hanya sayangnya kesulitan itu jelas ada dihadapan kita bahwa paradigma umum terkait pendidikan selalu dikaitkan dengan pekerjaan, baik dalam arti lahir dan subtansinya. banyak kita jumpai sebuah lembaga- lembaga pendidikan yang berusaha merintis untuk menegembalikan hakekat tujuan pendidikan yang implementasikan konsep tersebut ke dalam kurikulum pendidikan mereka. akan tetapi kontruksi masyarakat telah beredar bahwa pendidikan adalah alat untuk mencari pekerjaan semata. sungguh maklum kita apabila perspektif yang kita pakai adalah ekonomi. akan tetapi kita akan merasa ikut prihatin terkait gejala-gejala yang mengkaburkan perbedaan antara pendidikan dan pendidikan sebagai alat mencari pekerjaan. sehingga kita sulit berharap untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik selama pendidikan itu berbasis materialistic hedonis. karena pendidikan semacam ini terkait tranformasi mata pelajaran umumnya / ilmu pengetahuannya bersifat free value (bebas nilai), apalagi nilai-nilai agama dianggap sebagai penghambat kemajuan.
Dengan segala kerendahan hati penulis merasa bahwa untuk terus  belajar  memahami dasar/ hakekat pendidikan merupakan keniscayaan para subyek pendidikan, termasuk  Kepala sekolah dan Guru dan stakeholder sehingga menciptakan konsep yang tertampung dalam kurikulum dan terimplementasikan secara bertahap dan terus mengadakannya evalusi untuk mengukur secara kuantitatif dan kualitatif terkait perkembangan siswa terhadap model-model pembelajaran yang telah dijalankan. tulisan ini adalah setetes ide dari samudra ide di luar sana yang kami niatkan untuk mengingatkan kita semua sebagai subyek pendidikan untuk menyadari bahwa, tidak hanya siswa yang belajar, tapi guru juga butuh terus belajar (tidak harus dalam bangku kuliah) sehingga setahap demi setahap akan memperbaiki kualitas dalam lembaga pendidikan yang kita cintai dimana kita mengaktualisasikan diri, bekerja dan mengabdikan diri kita sebagai pendidik.
Hakekat Pendidikan
Hakekat pendidikan sebenarnya tidak berpijak pada diluar diri manusia, hal ini karena manusialah sebagi pelaku dalam pendidikan. jadi pendidikan adalah pengetahuan tentang manusia sedalam arti yang sesungguhnya. Melihat pendidikan dan prosesnya kepada manusia, sebetulnya pendidikan itu sendiri adalah sebagai suatu proses memanusiakan manusia seperti yang biasa diungkapkan oleh para pemikir-pemikir pendidikan. Istilah kemanusiaan secara leksikal bermakna sifat-sifat manusia, berperilaku selayaknya perilaku normal manusia, atau bertindak dalam logika berpikir sebagai manusia. Pemanusiaan secara leksikal bermakna proses menjadikan manusia agar memeliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa, manusia dalam makna seutuhnya. Artinya dia menjadi riil manusia yang mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara penuh sebagai manusia . Tugas pokok dan fungsi tersebut adalah sebagai mandataris Alloh SWT.
Dalam konteks yang lebih riil dalam proses pembelajaran. terdapat dua sitilah yang kadang kita rancu untuk mengartikannya, yaitu pengajaran dan pendidikan. pengajaran bisa kita artikan sebagai aktivitas nyata mengajarkan (transfer knowledge) pengetahuan, teknologi dan ketrampilan serta meningkat kecerdasan dan pengendalian emosinya sehingga seseorang mampu survive di dalam kehidupannya. sedangkan Pendidikan merupakan aktivitas untuk melayani orang lain dalam mengeksplorasi segenap potensi dirinya, sehingga terjadi proses perkembangan kemanusiaannya agar mampu eksis di dalam lingkup kehidupannya dan mempunyai manfaat (Insan yang utuh). dari dua pengertian diatas dapat kita pahami bahwa pengajaran tanpa pendidikan akan menciptakan anak didik yang kehilangan control nilai baik-buruk atau benar –salah. sebaliknya pendidikan tanpa pengajaran hanya menjadikan siswa tidak tertampung potensinya untuk menjadi manusia tertinggal oleh dinamika kehidupan. sehingga kita bisa berkesimpulan bahwa di dalam pengajaran harus ada pendidikan dan di dalam pendidikan juga mewajibkan adanya pengajaran.
Bukanlah hal yang bisa dibenarkan untuk menangkap arti sebagai abdillah dah khalifah di bumi, dengan mereduksi sebuah keharusan keharusan yang menyangkut kehidupan yang luas secara teknis dan kemanfaatanya. Artinya kebutuhan kita untuk terus mengikuti arus zaman mewajibkan kita untuk terus mengasah ketrampilan dan kreatifitas terkait ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tanpa kita terbawa arus yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. karena kedua kata diatas sebuah gambaran bahwa hakekat pendidikan adalah menciptakan manusia yang sadar atas kemanusiaanya. sadar akan kemanusiaanya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah dan sadar akan tanggungjawab yang terdapat dalam lingkungan kehidupannya di sekelilingnya. jika pendidikan hanya mencetak untuk menjadi sesuatu yang tereduksi dari fitrah keutuhannya, maka dalam perspektif ini pendidikan hanya menjadi proses yang hampa makna.

Apa Tujuan Pendidikan??
Dalam Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang System Pendidikan Nasional, dijelaskan,” pendidikan Nasional bertugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mengembangkan masnuia seutunya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yanMaha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribaadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”
            Jalan pendidikan dilakukan dengan pengajaran atau transformaasi ilmu dan pengetahuan. pada hakekatnya pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. usaha tersebut dilakukan selain sebagai transformasi ilmu pengetahuan juga yang tidak kalah penting adalah transformasi nilai. Pendidikan dalam Islam” basah” dengan nilai yang menjadi prinsip hidup umat Islam. artinya bisa dikatakan bahwa Al Quran diturunkan sebagai tarbiyah (pendidikan) untuk menjadikan manusia yang  seutuhnya. sehingga ketika pendidikan hanya terbingkai dalam materi mata pelajaran tanpa menyangkutkan tentang nilai ketauhidan, baik buruk,, benar salah dan pendidikan akhlak pastilah pendidikan semacam ini akan menjauhkan peserta didik terhadap Allah swt kehilangan control moralnya. Dan sekulerisasi yang telah menggejala dalam kehidupan adalah imbas yang terjadi ketika pendidikan pada materi umum tidak dibarengi dengan transformasi nilai agama. yang pada akhirnya pendidikan itu justru “lari” menjauh dari tujuan awalnya, yang penulis sebut sebagai manusia mekanis.
Begitu juga dengan pendidikan Islam, walapun telah mempunyai dasar yang jelas (Al Quran dan Hadis), apabila tidak dibarengi dengan penjelasan-penjelasan  yang rasional dalam proses pembelajaran terkait materinya akan berdampak pada pembelahan arti terhadap pemaknaan akan kehidupan, atau mempertentangkan kehidupan dunia dan akherat. Yang justru bukan untuk menyatukan. atau kurang menyadarkan bahwa ladang menuju akherat adalah keterlibatan sekecil apapun dalam kebaikan di kehidupan yang telah dianugrahkan Allah swt kepada manusia. karena yang harus kita sadari adalah agama adalah aturan yang diperuntukkan manusia di dunia. sehingga fakta-fakta kehidupan memang perlu dimunculkan, karena memang dari sinilah pendidikan agama itu bekerja.
Paradigma tentang pendidikan yang penulis ungkapkan disini sebenarnya bukanlah sama sekali baru, hal ini dikarenakan berangkat dari para tokoh-tokoh pendidikan yang merasa resah secara intelektual dan nuraninya terhadap perkembambangan kondisi Bangsa yang mengalami banyak persoalan yang tak kunjung usai, korupsi, kolusi, konspirasi politik yang merugikan rakyat, kemiskinan, pengangguran dan sebagaianya. ternyata berakar dari sebuah sebuah pendidikan. ini hanyalah sebuah gambaran kecil yang sebenarnya lebih rumit dalam kenyataanya. hal ini dikarenakan penulis background memang kurang mempunyai peralatan yang memadai untuk menilai secara obyektif dan terperinci. akan tetapi penulis berharap bahwa catatan kecil ini dapat kita jadikan awal untuk belajar bersama dalam menunjang profesionalitas kita. amin.