Integrasi imtaq dan iptek, benarkah??
Oleh : David kurniahuda
Dalam
UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 3:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Integrasi imtaq dan iptek dalam pendidikan
diharapkan menciptakan seorang pribadi yang utuh. Selain pendidikan itu
mewujudkan pribadi yang beriman juga mengimplementasikan keimanannya dengan
kolaborasi ilmu-ilmu umum yang menjadi kerangka kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan berragama yang tanggap terhadap sebuah perubahan.
Dapat kita katakan bahwa pendidikan agama menjadi
landasan bagi setiap pribadi dalam menentukan visi dan misi yang jelas hidupnya
sedangkan pendidikan umum yang dipelajari rangkaian profesionalitas tertentu
yang harus dikuasai sebagai keniscayaan yang terhadap dinamika keilmuan yang
juga sangat berperan terhadap perubahan kehidupan secara pribadi maupun secara
umum yang terus berdinamika
Logika dari sebuah kondisi ideal diatas, adalah
apabila ilmu pengetahuan dengan dasar ilmiahnya selaras dengan aqidah umat
Islam maka, untegrasi keduanya dapat tercecap oleh pribadi siswa tanpa menimbulkan
persoalan-persoalan yang paradox dikemudian harinya. Yang jadi persoalan adalah
bagaimana ilmu pengetahuan yang dikatakan “ilmiah” itu dalam tataran filosofis
terbongkar sisi paradoksal dengan ilmu agama yang berdasarkan ketauhidan.
Persoalan integrasi imtaq dan
iptek.
Sebenarnya integrasi imtaq dan iptek bukanlah
persoalan yang sederhana, iptek yang nota bene masih mengadopsi dari dunia maju
(barat) yang landasan keilmuannya materialis posivitistik dan pragmatism. Yang
hanya beranggapan bahwa segala macam ilmu harus berdasar sesuatu yang dapat
diverifikasi oleh sesuatu yang bisa tercecap oleh indera manusia. Artinya tidak
ada ilmu yang dilandasakan pada hal yang tak terlihat. Sedangkan disisi lain pendidikan
Islam yang monoteisme (tauhid) mengharuskan bahwa sesuatu yang nampak adalah Aktualisasi
dari Kekeuasaan Allah swt.
Penajabaran diatas bukan dimaksudkan sebagai
penolakan terhadap ilmu pengetahuan yang telah ada, akan tetapi sebagai menilai
kembali ilmu pengetahuan yang selaras dengan sebuah kepercayaan kepada Tuhan
yang Maha esa. Karena ketidak selarasan yang terjadi antara imtaq dan iptek
menyebabkan kontradiksi yang terjadi dalam kondisi internal siswa yang akan
dating.
Sebagai contoh konkret ilmu antamropologi yang masih menempatkan teori evolusionis sebagai
asal usul keberadaan manusia. Walaupun saat ini teori ini timbul tenggelam dengan
adanya teori-teori yang menguatkan ataupun yang membantahnya. Sedang dalam
pendidikan Islam yang menempatkan Nabi Adam sebagai cikal bakal keberadaan
manusia. Hal ini menciptakan sebentuk pemahaman yang tidak tuntas. Apabila
kebenaran itu bersifat satu dalam keberadaanya, sampai saat ini contoh kecil
ini masih memberikan ruang keragu-raguan bagi siswa untuk menentukan
kebenarannya. Artinya, ketika teori evolusi itu sebagai akhir dari sebuah
penemuan ilmu tentang manusia, maka kebenarnnya setidaknya bisa dijadikan
sebagai hasil. Akan tetapi hal ini dapat menjauhkan siswa dari agama. Dan juga sebaliknya, apabila pendidikan agama
Islam mengatakan manusia berasal dari Nabi Adam tanpa setidaknya memberikan
bukti-bukti ilmiah dalam proses pendidikan, maka menggiring kesimpulan bahwa
teori evolusionislah yang pantas untuk dipegang, walaupun saat ini tidak ada
bukti yang menerangkan sebuah keadaan transisi manusia berevolusi.
Pemahaman yang tidak benar terhadap ilmu
pengetahuan ditambah kurangnya nilai-nilai agama yang “membasahi” pemahan
tersebut dalam memandang manusia seperti di atas berdampak pada sebuah
pemahaman yang merendahkan sisi kemanusiaanya sendiri maupun orang lain pada
umumnya. Begitu juga dengan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya yang dalam dunia
pendidikan kita mengacu keilmuan ini pada dunia barat. Ketika keilmuan hanya
berdasar materialistic pragmatis, selain sisi kelebihannya juga berakibat fatal
dengan menghapus sisi spiritualitas yang berujung pada pereduksian manusia yang
hanya bertitik tolak pada kebutuhan jasadi saja. Sehingga membuka kemungkinan
ilmu pengetahuan tersebut terjadi penyalah gunaan.
Sekilas gambaran diatas adalah sebuah fakta yang
sebenarnya kontradiktif dengan tujuan pendidikan nasional yang bertujuan untuk
menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa. Dikarenakan proses pembelajaran
yang bertujuan untuk menemukan kebenaran masih terjerembab dalam dualistic ”
kebenaran” yang masing-masing menemukan cara untuk meyakinkan kebenarannya.
Integrasi imtaq dan iptek yang diharapkan bisa jadi malah berakibat sebaliknya
disintegrasi atau terkotak-kotak tanpa jalinan. Hal ini menjadikan persoalan
bagi siswa yang sungguh-sunguh yaitu dengan memilih satu jalan (ilmu
pengetahuan murni atau agama) untuk menemukan sebuah kebenaran yang diyakini
oleh siswa dari sekelumit contoh ini.
Integrasi imtaq dan iptek, bukanlah sebuah usaha
islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengarah pada bentuk-bentuk
formal, akan tetapi integrasi ini bermaksud “persetujuan” agama dengan landasan
nilai-nilai yang terkandung dalam agama terhadap metode, isi dan produk dari
ilmu pengetahuan dan teknologi. Persetujuan bukan berarti hanya mengamini, akan
tetapi juga sebuah keputusan yang dihasilkan dari keterlibatan bagi subyek
pendidikan. Dari sini sebenarnya
terkandung hal yang signifikan, bahwa agama haruslah menjadi “promoter”
sekaligus pembuka kegairahan dalam melakukan kegiatan-kegiatan ilmu pengetahuan
ilmiah dalam dunia pendidikan. Bukan hanya menjadi “hakim” yang kurang
mempunyai bukti-bukti dalam menentukan
sebuah sebuah nilai dan hasil-hasil ilmu pengetahuan.Yang menjadi PR bagi kita
adalah sebuah pertanyaan, apakah ilmu pengetahuan yang nota bene kita adopsi
dari bangsa-bangsa maju bersifat netral tanpa kepentingan ideologis, politik,
ekonomi dan sebagainya?? Jikalau pengetahuan itu netral pastilah tidak terjadi
kontradiktif antara agama dan ilmu pengetahuan.
Peran imtaq dan iptek pada kesadaran anak didik
Integrasi imtaq dan iptek dalam konteks kesadaran
adalah penyatuan dua hal yang sesuai dengan fitrah manusia dalam membina
kehidupan di dunia yang lebih baik. Penyatuan dua hal tersebut tercipta
dikarenakan adanya keselarasan baik subtansi maupun bentuknya. Sehingga dapat
terwadahi oleh pribadi dalam keseimbangan dan keutuhan. Seimbang mengandung
arti tidak menegasi satu sama lain antara imtaq dan iptek. Keseimbangan ini
terwujud tidak lain ketika manusia beriman kepada Allah swt. Dan keutuhan
mengandung arti imtaq dan iptek tersebut melebur menjadi satu dalam keserasian
tanpa reduksi satu sama lain. Sehingga memunculkan aktualisasi iptek yang tidak
beertentangan dengan nilai-nilai agama.
Kita ketahui bahwa dengan landasan imanlah
pendidikan itu menjadi lebih bermakna dan mampu menghasilkan out put pendidikan
yang mempu berperan dalam perbaikan di masa mendatang terhadap bangsa yang kita
cintai ini. Akan komplektivitas kehidupan dalam tatanan bermasyarakat dan
berbangsa telah merekontruksi bahwa persoalan
baik dan buruk tidak hanya menyangkut hal-hal mikro moral personal.
Untuk itulah ilmu-ilmu umum harus bergandeng mesra dengan ilmu agama yang diajarkan di pendidikan. Untuk
merangkai kehidupan yang lebih sehat dan manusiawi.
Munculnya beragam persoalan bangsa seperti halnya,
kemiskinan, ekploitasi alam berlebihan, korupsi, kolusi, dan
kejahatan-kejahatan lainnya yang kunjung usai bisa jadi oleh orang yang mempunyai
kecerdasan dalam background pendidikan umum atau pendidikan agamanya. Sentuhan
spiritualitas yang kurang dalam ilmu pengetahuan yang dikuasai menciptakan
kecenderungan penyalahguanaan wewenang. Begitu juga dengan sentuhan pengetahuan
ilmiah yang kurang dalam pendidikan agama seringkali akan memunculkan sikap gegabah.
Untuk itu sudah tepatlah kalau dalam undang-undang
No.20/2003 menempatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam urutan yang
pertama yang setelahnya ketakwaan, berakhlak mulia, sehat dan bertanggung
jawab. Karena dengan keimanan dan ketakwaanlah integrasi dengan iptek dapat
menemukan format yang tepat.