Minggu, 01 April 2012


Tuhan Maha Adil
Tuhan Maha Adil, hanya keterbatasan dan kedangkalan pikiran kitalah yang tidak adil.
Dalam lakon Julius Caesar, Brutus berkata, "Manusia menjadi penentu atas nasibnya sendiri."
Benarkah demikian?
 Lebih dari 15 milyar tahun yang lalu, penciptaan alam semesta dimulai dari sebuah singularitas dengan rapatan dan kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga, meledak dan mengembang. Peristiwa ini disebut Dentuman Besar (Big Bang), dan sampai sekarang alam semesta ini masih terus mengembang hingga mencapai radius maksimum sebelum akhirnya mengalami Keruntuhan Besar (kiamat) menuju singularitas yang kacau dan tak teratur. Dalam kondisi singularitas awal jagat raya Teori Relativitas, karena rapatan dan kelengkungan ruang waktu yang tak terhingga akan menghasilan besaran yang tidak dapat diramalkan.
 Menurut Stephen Hawking dalam bukunya A Brief History of Time yang terbit pada tahun 1988, bila kita tidak bisa menggunakan teori relativitas pada awal penciptaan “jagat raya”, padahal tahap-tahap pengembangan jagat raya dimulai dari situ, maka teori relativitas itu juga tidak bisa dipakai pada semua tahapnya. Di sini kita harus menggunakan mekanika kuantum. Penggunaan mekanika kuantum pada alam semesta akan menghasilkan alam semesta “tanpa pangkal ujung” karena adanya waktu maya dan ruang kuantum.
 Pada kondisi waktu nyata (waktu manusia) waktu hanya bisa berjalan maju dengan laju tetap, menuju nanti, besok, seminggu, sebulan, setahun lagi dan seterusnya, tidak bisa melompat ke masa lalu atau masa depan. Menurut Hawking, pada kondisi waktu maya melalui “lubang cacing” kita bisa pergi ke waktu manapun dalam riwayat bumi, bisa pergi ke masa lalu dan ke masa depan.
 Hal ini bermakna, masa depan dan kiamat (dalam waktu maya) menurut Hawking “telah ada dan sudah selesai” sejak diciptakannya alam semesta. Selain itu melalui “lubang cacing” kita bisa pergi ke manapun di seluruh alam semesta dengan seketika.
Atas dasar teori ini, menurut Hawking, segala sesuatu sudah tertentukan hingga hal-hal yang paling remeh temeh. Takdir itu tidak bisa diubah, sudah jadi sejak diciptakannya.
Hawking yang belakangan mengaku ateis, di bukunya yang terbit pada 23 tahun lalu itu, menuturkan: "Pembelaan untuk masalah takdir ini biasanya adalah bahwa Tuhan Mahakuasa dan di luar waktu, maka Tuhan mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi. Tetapi andaikata demikian, mengapa kita boleh mempunyai kehendak bebas, mengapa kita harus bertanggung jawab atas perbuatan kita? Seseorang praktis tidak boleh disalahkan bila ia telah ditakdirkan untuk merampok bank. Lalu mengapa ia harus dihukum karena perbuatan itu?"
"Orang tidak dapat mendasarkan tindakannya pada gagasan bahwa segala sesuatu telah ditentukan baginya. Sebagai gantinya, orang harus mengacu kepada teori efektif yang menyatakan bahwa ia mempunyai kehendak bebas serta ia harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya."Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya merasa bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya lebih mungkin bekerja sama dan bertahan hidup untuk menyebar-luaskan nilai-nilainya. Tentu saja semut termasuk mahluk yang mampu bekerja sama, tetapi masyarakat semut bersifat statis. Mereka tidak mampu bersikap tanggap terhadap tantangan-tantangan yang mereka kenal atau memanfaatkan peluang-peluang baru. Sebaliknya sekelompok individu bebas yang mempunyai tujuan bersama tertentu dapat bekerja bersama dalam meraih tujuan bersama tapi tetap bebas dalam berinovasi. Masyarakat yang demikian lebih mungkin mempertahankan dan menyebar-luaskan sistem nilainya."
 Tetapi dalam buku terbarunya, 'The Grand Design' mengatakan bahwa Big Bang tercipta akibat hukum gravitasi dan bukan karena adanya campur tangan Tuhan. “Tidak perlu membawa-bawa Tuhan seolah-olah Ia yang memicu terciptanya alam semesta,” tulis Hawking.
Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapat sebelumnya dalam bukunya pada tahun 1988, A Brief History of Time, Hawking menegaskan kepercayaannya akan campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam semesta. "Jika kita menemukan sebuah teori yang lengkap maka itu akan menjadi kemenangan besar dari nalar manusia. Untuk itu, kita harus mengetahui pikiran Tuhan," tulis Hawking, pada saat itu.
Itu kan jika meyakini bahwa kita cuma hidup di alam tiga dimensi yang ini.
Di Universitas Paris, sebuah tim peneliti dipimpin oleh Alain Aspect melakukan suatu eksperimen yang mungkin merupakan eksperimen yang paling penting di abad ini.
Aspect bersama timnya menemukan bahwa dalam lingkungan tertentu partikel-partikel subatomik, seperti elektron, mampu berkomunikasi dengan seketika satu sama lain tanpa tergantung pada jarak yang memisahkan mereka. Tidak ada bedanya apakah mereka terpisah 10 kaki atau 10 milyar km satu sama lain.
Entah bagaimana, tampaknya setiap partikel selalu tahu apa yang dilakukan oleh partikel lain. Masalah yang ditampilkan oleh temuan ini adalah bahwa hal itu melanggar prinsip Einstein yang telah lama dipegang, yakni bahwa tidak ada komunikasi yang mampu berjalan lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Oleh karena berjalan melebihi kecepatan cahaya berarti menembus dinding waktu, maka prospek yang menakutkan ini menyebabkan sementara ilmuwan fisika mencoba menyusun teori yang dapat menjelaskan temuan Aspect. Namun hal itu juga mengilhami sementara ilmuwan lain untuk menyusun teori yang lebih radikal lagi.
Einstein pernah mengatakan, "Kenyataan adalah ilusi, meskipun berlangsung terus menerus."
Mungkin kita sepakat tentang apa yang “ada” atau “tidak ada” oleh karena apa yang disebut “realitas konsensus” itu dirumuskan dan disahkan di tingkat bawah sadar manusia, yang di situ semua batin saling berhubungan tanpa terbatas.
Jika ini benar, maka ini adalah implikasi paling dalam dari paradigma holografik, oleh karena hal itu berarti bahwa pengalaman-pengalaman sebagaimana dialami oleh Watson adalah tidak lazim hanya oleh karena kita tidak memprogram batin kita dengan kepercayaan-kepercayaan yang membuatnya lazim. Di dalam alam semesta yang holografik, tidak ada batas bagaimana kita dapat mengubah bahan-bahan realitas.
Yang kita lihat sebagai ‘realitas’ hanyalah sebuah kanvas yang menunggu kita gambari dengan gambar apa pun yang kita inginkan. Segala sesuatu adalah mungkin, mulai dari kelengkungkan sendok dengan kekuatan batin sampai peristiwa-peristiwa fantastik yang dialami oleh Castaneda selama pertemuannya dengan dukun Indian bangsa Yaqui, Don Juan, oleh karena sihir adalah hak asasi kita, tidak lebih dan tidak kurang adikodratinya daripada kemampuan kita menghasilkan realitas yang kita inginkan ketika kita bermimpi.
Sesungguhnya, bahkan paham-paham kita yang paling mendasar tentang realitas patut dipertanyakan, oleh karena di dalam alam semesta holografik, sebagaimana ditunjukkan oleh Pribram, bahkan perisitiwa yang terjadi secara acak harus dilihat sebagai berdasarkan prinsip holografik dan oleh karena itu bersifat determined. Sinkronisitas’ atau peristiwa-peristiwa kebetulan yang bermanfaat, tiba-tiba masuk akal, dan segala sesuatu dalam realitas harus dilihat sebagai metafora, oleh karena bahkan peristiwa yang paling kacau mengungkapkan suatu simetri tertentu yang mendasarinya.

Apakah paradigma holografik akan diterima oleh sains atau tenggelam begitu saja masih akan kita lihat, tetapi pada saat ini agaknya dapat dikatakan bahwa paradigma itu telah berpengaruh terhadap pemikiran sejumlah ilmuwan. Dan bahkan jika kelak terbukti bahwa model holografik tidak memberikan penjelasan terbaik bagi komunikasi seketika yang tampaknya berlangsung bolak-balik di antara partikel-partikel subatomik, setidak-tidaknya, sebagaimana dinyatakan oleh Basil Hiley, seorang pakar fisika di Birbeck College di London, temuan Aspect “menunjukkan bahwa kita harus siap mempertimbangkan paham-paham baru yang radikal mengenai realitas.”
Mungkin mirip dengan kematian. Tepat sebelum tertidur seseorang mulai tidak sensitif terhadap dunia luar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan apa pun. Indra yang sebelumnya amat tajam mulai tidak dapat bekerja. Sementara itu, daya persepsi berubah. Tubuh mengurangi seluruh fungsinya menjadi minimum, membawa kepada disorientasi ruang dan waktu serta pergerakan tubuh yang lebih lambat. Keadaan ini, pada satu hal, merupakan bentuk lain kematian, yang didefinisikan sebagai keadaan di mana jiwa meninggalkan tubuh. Memang, saat tidur tubuh berbaring di ranjang sementara ruh mengalami hidup yang sangat berbeda di tempat yang sangat berbeda. Dalam mimpi, seseorang mungkin merasa berada di pantai pada suatu hari yang terik di musim panas, tanpa menyadari bahwa ia tengah terlelap di tempat tidur. Kematian pun memiliki tampilan luar yang serupa: ia memisahkan jiwa dari tubuh yang digunakannya di dunia dan membawanya ke dunia yang lain.
Karena kehilangan total seluruh fungsi indra, dengan kata lain, "dalam ketidaksadaran sebenarnya", seorang manusia menghabiskan hingga 1/3 hidupnya dalam tidur. Namun, ia sedikit sekali merenungkan fakta ini, tidak pernah menyadari bahwa ia meninggalkan segala yang dianggap penting di dunia ini. Manusia tidak memiliki kekuasaan apa pun terhadap tanggal dan tempat kelahirannya. Sebagaimana halnya, ia tidak pernah mengetahui di mana atau bagaimana ia akan meninggalkan dunia ini.
Bahwa kita sebetulnya hidup di lebih dari satu dunia. Dalam dunia lain yang berbeda dimensi. Karena tidur sesungguhnya bukanlah tidur. Hanya kita tak menyadari sepenuhnya segala aktivitas jiwa, karena umumnya kita mahluk pelupa yang terjebak dalam ingatan tiga dimensi.
Ibnu Arabi yang belajar di bawah bimbingan perempuan Sufi Spanyol, mengatakan, "Seseorang," tuturnya, "harus mengendalikan pikiran-pikirannya dalam mimpi. Dengan melatih kesigapan ini, ia akan menghasilkan kesadaran tentang dimensi perantara. Kesadaran ini akan mendatangkan manfaat besar bagi individu itu. Setiap orang seharusnya melatih diri untuk mencapai kemampuan yang sangat besar nilainya ini."
Dan bagaimana halnya diri kita sendiri?
Setelah kematian, di alam singularitas semuanya bisa dirasakan oleh setiap yang bersangkutan, oleh setiap jiwa.
Tuhan Maha Adil, hanya keterbatasan dan kedangkalan pikiran kitalah yang tidak adil.

= SufiWay=

Referensi:

- Michael Talbot, MetaSains a gateway to spirituality
- Mahkota Sufi - Menembus Dunia Ekstra Dimensi - Idries Shah
- Kitab Tarjuman al-Asywaq (Interpreter of Desires), terjemahan R.A. Nicholson, London, 1911


Cinta Tanah Air Bagian dari Iman

Bangsa yang besar adalah sebuah Bangsa yang menghormati para pahlawannya. Sering kita dengar kata mutiara semacam ini. Barangkali kita akan mempertanyakan dengan keingin tahuan yang besar, sebenarnya apakah relevansi sebuah bangsa yang besar dengan para pahlawan??cukup singkat jawabannya,sangat erat (hehe…). Ketiadaan rasa hormat warga Negara terhadap jasa para pahlawan adalah sebentuk refleksi bahwa sesungguhnya tiada pula kebesaran manusia terhadap ruang lingkup hidupnya dan terhadap dirinya sendiri.
Pahlawan adalah sebuah fakta, yang kalau kita tidak boleh mempersempit artinya hanya berkala pada masa lampau. Akan tetapi sifat kepahlawanan adalah sebuah gambaran seorang manusia yang memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang sedang dijajah. Dijajah secara fisik, dijajah secara mental, dijajah secara ilmu pengetahuan apalagi dalam sebuah zaman modern seperti ini, sehingga lebih lebar lagi spectrum penjajahan dalam multi dimensia pada bangsa yang kita cintai, Bangsa Indonesia . Benarlah bahwa subtansi dari sebuah perjuangan adalah rasa cinta terhadap kehidupan yang telah dianugrahkan Allah swt kepada manusia dan berusaha untuk menjaga harmoni kehidupan ini.
Tidaklah mengherankan apabila ahli pikir mengatakan bahwa manusia adalah maklhuk yang rumit sekaligus mengagumkan. Kerumitannya bukan terletak pada sisi fisiologisnya, karena boleh jadi dalam keadaan fisik manusia bisa saja di hamper samakan dengan kera. Tapi kita akan heran bahwa penyamaan semacam ini membuat kita akan merasa dilecehkan. Dan ternyata perasaan dilecehkan ini bukanlah sebuah perasaan yang tidak menggambarkan apa-apa selain penilaiaan kita terkait estetika sedang menyangkalnya. Sebuah penyangkalan akibat dari perbandingan yang disadari dan difikirkan.
Manusia yang berpikir adalah manusia yang mencoba untuk menunjukan pada dunia akan keberadaanya. Sekaligus sebagai hal prinsip yang telah dititahkan Allah swt untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Tentunya hal ini menunjukkan pada kita bahwa usaha manusia dalam maningkatkan kualitas diri dengan terus menerus belajar adalah perintah Allah swt dan Rosul-Nya. Sebaliknya ketiadaan usaha manusia untuk meningkatkan kualitas diri adalah sebagai bentuk pengabaiaan terhadap perintah Allah dan rosul-Nya.
Signifikansi manusia yang telah berada dalam sebuah ruang hidup yang bernama masyarakat bangsa adalah pengejawantahan akan citra kemanusiaanya yang khas, yaitu pengenalan terhadap yang baik dan buruk. Akan tetapi kita terasa dituntut untuk lebih memahami bahwa kebaikan dan keburukan bukanlah sesuatu yang sederhana saja dalam sebuah masyarakat yang telah kompleks system-sistemnya. Tumpang tindih nilai tidak dapat terelakkan sebagai konsekuensi dari kompleksitas dinamika yang terus merangkak maju. Akan tetapi kemanuisaan kita selalu bersuara dalam relung-relung hati untuk terus mengejawantahkan citra kemanusiaan yang berkeTuhanan yang mengarahkan selalu berpihak pada kebenaran dan selalu berusaha untuk mengeliminasi keburukan. 
Hal diatas adalah sebuah gambaran betapa wujud kepahlawanan bukanlah sebuah sifat yang dibingkai oleh ruang dan waktu sehingga apabila wujud kepahlawanan itu telah membuka lembaran waktu dengan pergantian hari bulan dan tahun usai sudah arti dan maknanya. Ia adalah suatu gambaran jiwa yang harus dipupuk dengan kemampuan dan potensi yang ada pada diri manusia dalam meleburkan diri dalam kehidupan. Dan ia selalu menunggu manusia-manusia yang “terpanggil” untuk brkontribusi melakukan kebaikan walaupun dalam sekala sekecil apapun.
Amar ma’ruf nahi munkar menggelar makna subtansinya tidak dengan ideology warna apa atau berpegang pada golongan apa, akan tetapi termaknai secara terbuka sebagai perbaikan kehidupan manusia dan semua unsure kehidupan lainnya dengan cara yang dibenarkan dalam agama. Apabila Allah swt menciptakan segala sesuatunya itu ada pasangannya seperti halnya baik dan buruk, bukan berarti sebuah keburukan mempunyai nilai yang sama dengan kebaikan dalam menciptakan sebuah harmoni kehidupan. Keburukan (bisa dalam bentuk isi pikiran maupun perbuatan) adalah sebuah pilihan manusia sendiri sebagai konsekuensi memaknai hidupnya. Dan keburukan tidaklah boleh dipandang sebagai instrument yang harus ada untuk menunggu kebaikan muncul untuk menyeimbangkannya. Begitu juga kebaikan bukanlah di-ada-kan oleh Allah swt sebagai imbangan adanya keburukan, sehingga akan mensejajarkan nilai keduanya sebagai cara untuk menciptakan harmoni. masihkah kita menganggap bahwa pengabdian kita terhadap Tuhan hanya sebatas ritualitas yang tanpa kita jelmakan dalam kecintaan kita pada kehidupan??


Kesibukan Diam Dalam Sunyi
Taukah kawan, penderitaan apa yang lebih dapat dirasakan ketika diri ini terpasung dalam ketiadaan untuk mampu meng-ada. Selain yang dapat aku rasakan sebuah kesunyian yang senyap dan pengab.
Bagai gelombang yang tiada tempat untuk menyalurkan hamburan kekuatannya pada pantai-pantai yang landai. Bagai burung yang termangu kehilangan kebebasan karena sayap-sayapnya yang patah. Sepi..dan kekuatan sepi ini mendesakku sebagai kekuatan yang tak terlihat ke ruang kekeringan dan kegersangan. Kebebasanku tertawan oleh pasung dunia yang angkuh,,fisik.
Suara yang seharusnya menjerit, tertawa dan teriak lebur dalam aroma waktu. Gerak yang seharusnya sejalan oleh desiran hati. Berjalan yang seharusnya dengan langkah harap pada tujuan. Buyar dalam kekaburan yang dibatasi oleh terali besi kesepian.
Kemarilah kawan….membagi tawa kebebasanmu yang dapat aku baca sebagai kemenanganmu atas kelemahan. Tatapanmu yang dapat aku cium sebagai keluasan keinginan yang pasti akan kau capai. Temani hatiku yang saat ini menjadi beku.
Semenit kuhirup dalam-dalam udara malam ini sebagai saudaraku yang ku rindu. Ku biarkan hatiku meniti setiap inci dari remang-remang apa yang aku lihat, menyatu padu dalam damai seperti kemarin atau tidak sama sekali..secercah inilah yang aku dapatkan ketika malam mempersilahkanku untuk bermanja sahdu.
Biarkanlah semua berdiam, sebab inilah aku melihat hati membebas, bagai gula yang larut dalam air. Melucuti setiap beban sepi dan menepis air mata yang belum selesai kering. Disinilah aku dipertemukan batas-batas yang pernah menyengsarakanku. Di sinilah sbenarnya aku diperkenalkan bahwa hidup adalah cara kita untuk mengenal diri sendiri. Yang setidaknya membuat kita merasa sejati bahagianya..apakah yang kau sibukkan dalam sunyi sepimu kawan? semoga kau berbahagia.