Kamis, 14 Juni 2012

ALAM RUANG TAFAKUR YANG TERLUPAKAN

Oleh: David Kurniahuda

Barangkali sering kita menghela nafas panjang saat menatap keindahan alam terhampar di depan kita. Sambil meniti perasaan damai yang lembut menyelimuti hati kita. Seperti tidak ada ruang untuk mengais-ngais garis-garis wujud alam yang membentuk keindahan itu dengan pikiran kita. Seringkali juga keindahan yang kita lihat terasa “rusak” dengan logika yang di kedepankan oleh pikiran kita. Dan seolah keindahan yang terangkai tersebut kembali terpotong-potong dalam dalam kesadaran bersamaan kita berfikir. Memenglah benar apabila ahli piker mengatakan bahwa keindahan tidak memerlukan bukti atas ke Maha Indahan Allah swt, karena keadaan indah itu sendiri sudah menjadi bukti.
Serangkaian unsur alam yang telah di ciptakan Allah adalah adalah sebuah keadaan puncak tanpa cela. Tiada secuil keburukanpun yang terdapat pada semua ciptaan Allah swt, selain keburukan itu tercipta oleh pikran kita yang menciptakan sendiri batas nilai baik buruk dalam keterbatasan kita. Sekaligus ini sebagai penunjuk betapa potensi yang kita punyai seunggul apapun tidak dapat mencapai Kesempurnaan Allah swt dikarenakan kita adalah sebagai makhluk yang diciptakan. Sehingga melampaui Sang pencipta adalah sebuah kemustahilan yang nyata.
Keindahan alam yang diperlihatkan kepada kita, adalah sebuah pesan bahwa keberlangsungan setiap makhluk  tumbuhan, binatang dan manusia adalah serangkaian yang tidak bisa dipisahkan dalam keberadaannya. Semuanya diikat dalam satu kesatuan yang utuh yang harmoni kehidupan. Tidak ada satupun makhluk yang bisa keluar dari rangkain ini selama dia hidup ataupun bahkan setelah ia mati. Bahkan tercanggih alat apapun yang mampu diciptakan oleh ilmu pengetahuan dan sains tidak akan pernah bisa keluar menuju “ruang hampa” dari kekuasaan Allah swt.
Binatang yang terdapat dalam ekosistem hutan yang belum terjamah oleh pengamatan manusiapun dalam lingkaran kehidupannya selalu tunduk dalam hokum alam yang telah ditetapkan. Mereka hidup dalam sifat dan ciri masing-masing akan tetapi tetap menjalin hubungan  untuk mempertahankan hidup dengan di luar dirinya. Adanya rantai makanan pada hewan adalah cara Allah menciptakan keseimbangan hidup. Insting hewan yang menyertai hidupnya tidak ditetapkan untuk mengerti seperti halnya manusia dengan akal yang dimilikinya. Allah telah menetapkan jalan hidup binatang seperti halnya yang kita lihat. Memangsa, mempertahankan hidup, melindungi diri dan anak-anaknya dari pemangsa baik yang hidup di darat, di air ataupun yang ampibhi. Semuanya itu selaksa pertunjukan yang nyata bagi kita bahwa tiada keadaan disharmonitas. Saling mangsa pada binatang adalah sebuah gambaran “pertentangan” dalam benak kita, akan tetapi itu merupakan cara menyatu padu dalam keseimbangan yang lebih luas lagi. Begitu juga dengan binatang-binatang ternak dan peliharaan yang diambil dari ekosistem asli dari binatang tertentu banyak kemanfaatan langsung dalam kehidupan manusia selama .
Tumbuhan yang rata-rata sebagai obyek bagi rantai makanan telah memberikan manfaat yang tiada tara bagi kehidupan. Yang hidup di air juga yang hidup di darat telah banyak dimanfaatkan oleh manusia dan hewan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menjaga keseimbangan alam tetap tercipta. Sari-sari makan yang diambil dari tanah mapun dari air tidak akan sampai merusak keseimbangan dari tanah atau air itu sendiri. Semuanya oleh Allah telah diatur dengan kadar yang telah ditetapkan. Sebuah kadar atau takaran yang sudah ditentukan oleh Allah Maha Mengetahui. Ujung akar dari tumbuhan yang terkecilpun telah ditentukan oleh Allah swt. Tiada secuil atom pun yang terabaikan dari Penglihatan dan Kekuasaan Allah. Dan keseimbangan inilah yang menciptakan hidup bagi semua maklhuk yang hidup di bumi.
 Keseimbangan ini yang mustahil tercipta oleh sebuah kebetulan belaka, seperti halnya yang dinyatakan oleh teori evolusi. Karena keadaan kebetulan tidak mempunyai landasan sama sekali bagi sebuah hidup yang tercipta keseimbangannya, keteraturan dan keberlangsungannya. batu bata, pasir, semen, kayu, genteng menjadi rumah adalah bukan terjadi karena “kehendak” yang kebetulan dari  unsure-unsur pembentuknya sendiri. Selain terjadi oleh tangan manusia. Keadaan kebetulan yang dinyatakan teori evolusi terhadap dasar dari kehidupan ini adalah gambaran sebuah pikiran yang menabrak batu cadas materialisme atau mengalami jalan buntu. Sehingga mereduksi sisi kemanusiaan hanya bersifat jasadi. Yang sama halnya “memiskinkan” kekayaan hidup dalam waktu yang sangat singkat, yaitu seumur manusia itu sendiri.
Realitas hidup beserta isinya adalah suatu pembelajaran langsung dari Allah swt untuk satu-satunya makhluk, yaitu manusia. Manusia dengan akalnya menjadi makhluk yang distimewakan sebagai khalifah di muka bumi dan menjadi pusat dari semua keberlangsungan hidup ada. Di tangan manusialah Allah swt melepaskan kepercayaan yang telah diterimanya.
Akan tetapi setelah manusia memegang kendali sebagai sebagai subyek bagi kehidupan dengan ilmu pengetahuan dan sainsnya mencipta beragam teknologi yang menjadi alat untuk melampiaskan nafsu keserakahannya. Penciptaan nuklir secara besar-besaran bukan sebagai alat untuk mempertahankan tapi berancang-ancang untuk menciptakan perang, ekploitasi alam besar-besaran dari potensi laut dan penebangan hutan secara membabi buta, pembuatan baprik tanpa memperhitungkan dalam pembuangan limbahnya, penciptaan struktur keilmuan yang dibangun atas dasar materialistic pragmatis yang dibangun untuk menghilangkan keseimbangan kehidupan tanpa memperhitungkan akibat ke depan yang akan terjadi. Struktur keilmuan juga di kotak-kotakkan sesuai obyek meteri yang mencerabut sisi spiritual, yang memang dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dengan produk-produk yang tercipta. Dan solusi-solusi yang diciptakan dengan landasan keilmuan yang sama, justru tidak menciptakan perbaikan selain dissharmonitas alam semakin lebih nyata.
Ternyata sifat kebinatangan lebih menarik manusia untuk menyerapnya sehingga  saling memangsa bukan sifat tumbuhan yang lebih banyak member kebaikan. Bentuk-bentuk  imperialisme oleh bangsa satu ke bangsa lainya diciptakan lebih halus dan melenakan. Sebuah penindasan terhadap sebuah bangsa dikemas dalam bentuk yang santun. Tanpa kita sadar bahwa kita dalam cengkraman yang membuat kita lumpuh bahkan untuk menentukan jalan hidup bangsa kita sendiri. Harmoni kehidupan yang sebelumnya dapat kita lihat, hanya menjadi sebuah harapan yang jauh dan semakin terlihat rumit. Globalisasi menjadi jalan yang mulus bagi bangsa-bangsa maju untuk menuntaskan keserakahannya pada bangsa-bangsa lebih lemah. Manusia-manusia yang “kuat” sudah membiasakan diri untuk menindas terhadap yang lemah.
Keindahan alam yang menjadi pesan bagi manusia untuk mencipta rasa kesatuan yang sejati dianggap hanya tugas agamawan dan seniman bukan untuk Presiden, bukan untuk ilmuan, bukan untuk para pendidik-pendidik dan bukan untuk para pemegang kekuasaan. Melihat keindahan alam yang oleh Allah swt dihamparkan untuk menunjukkan kemaha IndahaNya yang mampu melembutkan hati dan mengusir sifat keserakahan dianggap sebagi perlakuan yang membuang-buang waktu saja. Dikarenakan tidak membawa kesenangan seperti hanya kesenanganya terhadap rumah mewah, kendaraan bagus, uang banyak dan sifat-sifat materialistic lainnya. Dan dari sinilah jalan buntu itu sebenarnya diciptakan oleh manusia sendiri.