ALAM RUANG TAFAKUR YANG TERLUPAKAN
Oleh: David Kurniahuda
Barangkali sering kita menghela
nafas panjang saat menatap keindahan alam terhampar di depan kita. Sambil meniti
perasaan damai yang lembut menyelimuti hati kita. Seperti tidak ada ruang untuk
mengais-ngais garis-garis wujud alam yang membentuk keindahan itu dengan
pikiran kita. Seringkali juga keindahan yang kita lihat terasa “rusak” dengan
logika yang di kedepankan oleh pikiran kita. Dan seolah keindahan yang
terangkai tersebut kembali terpotong-potong dalam dalam kesadaran bersamaan
kita berfikir. Memenglah benar apabila ahli piker mengatakan bahwa keindahan
tidak memerlukan bukti atas ke Maha Indahan Allah swt, karena keadaan indah itu
sendiri sudah menjadi bukti.
Serangkaian unsur alam yang telah
di ciptakan Allah adalah adalah sebuah keadaan puncak tanpa cela. Tiada secuil
keburukanpun yang terdapat pada semua ciptaan Allah swt, selain keburukan itu
tercipta oleh pikran kita yang menciptakan sendiri batas nilai baik buruk dalam
keterbatasan kita. Sekaligus ini sebagai penunjuk betapa potensi yang kita
punyai seunggul apapun tidak dapat mencapai Kesempurnaan Allah swt dikarenakan
kita adalah sebagai makhluk yang diciptakan. Sehingga melampaui Sang pencipta
adalah sebuah kemustahilan yang nyata.
Keindahan alam yang diperlihatkan
kepada kita, adalah sebuah pesan bahwa keberlangsungan setiap makhluk tumbuhan, binatang dan manusia adalah
serangkaian yang tidak bisa dipisahkan dalam keberadaannya. Semuanya diikat
dalam satu kesatuan yang utuh yang harmoni kehidupan. Tidak ada satupun makhluk
yang bisa keluar dari rangkain ini selama dia hidup ataupun bahkan setelah ia
mati. Bahkan tercanggih alat apapun yang mampu diciptakan oleh ilmu pengetahuan
dan sains tidak akan pernah bisa keluar menuju “ruang hampa” dari kekuasaan
Allah swt.
Binatang yang terdapat dalam
ekosistem hutan yang belum terjamah oleh pengamatan manusiapun dalam lingkaran
kehidupannya selalu tunduk dalam hokum alam yang telah ditetapkan. Mereka hidup
dalam sifat dan ciri masing-masing akan tetapi tetap menjalin hubungan untuk mempertahankan hidup dengan di luar
dirinya. Adanya rantai makanan pada hewan adalah cara Allah menciptakan
keseimbangan hidup. Insting hewan yang menyertai hidupnya tidak ditetapkan
untuk mengerti seperti halnya manusia dengan akal yang dimilikinya. Allah telah
menetapkan jalan hidup binatang seperti halnya yang kita lihat. Memangsa,
mempertahankan hidup, melindungi diri dan anak-anaknya dari pemangsa baik yang
hidup di darat, di air ataupun yang ampibhi. Semuanya itu selaksa pertunjukan
yang nyata bagi kita bahwa tiada keadaan disharmonitas. Saling mangsa pada
binatang adalah sebuah gambaran “pertentangan” dalam benak kita, akan tetapi
itu merupakan cara menyatu padu dalam keseimbangan yang lebih luas lagi. Begitu
juga dengan binatang-binatang ternak dan peliharaan yang diambil dari ekosistem
asli dari binatang tertentu banyak kemanfaatan langsung dalam kehidupan manusia
selama .
Tumbuhan yang rata-rata sebagai
obyek bagi rantai makanan telah memberikan manfaat yang tiada tara bagi
kehidupan. Yang hidup di air juga yang hidup di darat telah banyak dimanfaatkan
oleh manusia dan hewan untuk mencukupi kebutuhan hidup dan menjaga keseimbangan
alam tetap tercipta. Sari-sari makan yang diambil dari tanah mapun dari air
tidak akan sampai merusak keseimbangan dari tanah atau air itu sendiri.
Semuanya oleh Allah telah diatur dengan kadar yang telah ditetapkan. Sebuah
kadar atau takaran yang sudah ditentukan oleh Allah Maha Mengetahui. Ujung akar
dari tumbuhan yang terkecilpun telah ditentukan oleh Allah swt. Tiada secuil
atom pun yang terabaikan dari Penglihatan dan Kekuasaan Allah. Dan keseimbangan
inilah yang menciptakan hidup bagi semua maklhuk yang hidup di bumi.
Keseimbangan ini yang mustahil tercipta oleh
sebuah kebetulan belaka, seperti halnya yang dinyatakan oleh teori evolusi.
Karena keadaan kebetulan tidak mempunyai landasan sama sekali bagi sebuah hidup
yang tercipta keseimbangannya, keteraturan dan keberlangsungannya. batu bata,
pasir, semen, kayu, genteng menjadi rumah adalah bukan terjadi karena
“kehendak” yang kebetulan dari
unsure-unsur pembentuknya sendiri. Selain terjadi oleh tangan manusia.
Keadaan kebetulan yang dinyatakan teori evolusi terhadap dasar dari kehidupan
ini adalah gambaran sebuah pikiran yang menabrak batu cadas materialisme atau
mengalami jalan buntu. Sehingga mereduksi sisi kemanusiaan hanya bersifat
jasadi. Yang sama halnya “memiskinkan” kekayaan hidup dalam waktu yang sangat
singkat, yaitu seumur manusia itu sendiri.
Realitas hidup beserta isinya
adalah suatu pembelajaran langsung dari Allah swt untuk satu-satunya makhluk,
yaitu manusia. Manusia dengan akalnya menjadi makhluk yang distimewakan sebagai
khalifah di muka bumi dan menjadi pusat dari semua keberlangsungan hidup ada.
Di tangan manusialah Allah swt melepaskan kepercayaan yang telah diterimanya.
Akan tetapi setelah manusia
memegang kendali sebagai sebagai subyek bagi kehidupan dengan ilmu pengetahuan
dan sainsnya mencipta beragam teknologi yang menjadi alat untuk melampiaskan
nafsu keserakahannya. Penciptaan nuklir secara besar-besaran bukan sebagai alat
untuk mempertahankan tapi berancang-ancang untuk menciptakan perang, ekploitasi
alam besar-besaran dari potensi laut dan penebangan hutan secara membabi buta,
pembuatan baprik tanpa memperhitungkan dalam pembuangan limbahnya, penciptaan
struktur keilmuan yang dibangun atas dasar materialistic pragmatis yang
dibangun untuk menghilangkan keseimbangan kehidupan tanpa memperhitungkan
akibat ke depan yang akan terjadi. Struktur keilmuan juga di kotak-kotakkan
sesuai obyek meteri yang mencerabut sisi spiritual, yang memang dimaksudkan
hanya untuk memenuhi kebutuhan dengan produk-produk yang tercipta. Dan
solusi-solusi yang diciptakan dengan landasan keilmuan yang sama, justru tidak
menciptakan perbaikan selain dissharmonitas alam semakin lebih nyata.
Ternyata sifat kebinatangan lebih
menarik manusia untuk menyerapnya sehingga saling memangsa bukan sifat tumbuhan yang lebih
banyak member kebaikan. Bentuk-bentuk
imperialisme oleh bangsa satu ke bangsa lainya diciptakan lebih halus
dan melenakan. Sebuah penindasan terhadap sebuah bangsa dikemas dalam bentuk
yang santun. Tanpa kita sadar bahwa kita dalam cengkraman yang membuat kita
lumpuh bahkan untuk menentukan jalan hidup bangsa kita sendiri. Harmoni
kehidupan yang sebelumnya dapat kita lihat, hanya menjadi sebuah harapan yang
jauh dan semakin terlihat rumit. Globalisasi menjadi jalan yang mulus bagi
bangsa-bangsa maju untuk menuntaskan keserakahannya pada bangsa-bangsa lebih
lemah. Manusia-manusia yang “kuat” sudah membiasakan diri untuk menindas
terhadap yang lemah.
Keindahan alam yang menjadi pesan
bagi manusia untuk mencipta rasa kesatuan yang sejati dianggap hanya tugas
agamawan dan seniman bukan untuk Presiden, bukan untuk ilmuan, bukan untuk para
pendidik-pendidik dan bukan untuk para pemegang kekuasaan. Melihat keindahan
alam yang oleh Allah swt dihamparkan untuk menunjukkan kemaha IndahaNya yang
mampu melembutkan hati dan mengusir sifat keserakahan dianggap sebagi perlakuan
yang membuang-buang waktu saja. Dikarenakan tidak membawa kesenangan seperti
hanya kesenanganya terhadap rumah mewah, kendaraan bagus, uang banyak dan
sifat-sifat materialistic lainnya. Dan dari sinilah jalan buntu itu sebenarnya
diciptakan oleh manusia sendiri.