Jumat, 21 September 2012


GURU DAN FILSAFAT

Oleh: David Kurniahuda

Tidak kita ingkari banyak sekali suatu anggapan yang mengatakan bahwa profesi guru merupakan suatu bentuk aktifitas tranformasi pengetahuan dari Subyek (guru) ke obyek (siswa). Akan tetapi anggapan semacam ini merupakan bentuk penyederhanakan apabila di lihat dari subtansi dari proses pembelajaran itu sendiri. Sebuah bentuk penyederhanaan yang mengingkari betapa dalam proses pembelajaran adalah suatu aktifitas yang hidup dan penuh makna.
Guru dikatakan sebagai tonggak bagi perkembangan suatu bangsa. Dan hal ini tidak berelasi bahwa suatu perkembangan bangsa hanya ditunjang oleh seberapa kualitasnya out put pendidikan mampu “mengumpulkan” ilmu pengetahuan dalam otak siswa. proses pembelajaran bukanlah suatu aktifitas yang berulang-ulang dalam mereduksi keutuhan manusia. Seberapa derasnya arus globalisasi yang mampu membuat kita mendapatkan informasi apapun harus kita pandang sebagai wadah pembelajaran, bukan sebagai “barang jadi” yang membuat kita terlena hanya untuk menjadi obyek dalam regulasi perkembangan zaman yang mengarah pada materialis hedonism. suatu gambaran diatas adalah ibarat sebuah titik yang menandai bahwa pendidikan tidaklah boleh melupakan subtansi kemanusiaanya.
Sisi lain dari fenomena yang ada dalam pendidikan adalah banyaknya guru terjebak dalam sebuah rutinitas dalam pengajaran tanpa menjadikan tujuan dasar pendidikan sebagi hal yang patut untuk diprioritaskan. Pengajaran menjadi sebuah aktifitas yang mekanis ini sebagai konsekuensi atas kekurangmampuan guru untuk memamahi bahwa proses pembelajaran dalam kelas bukan semata menyampaikan ilmu pengetahuan. Sebuah angggapan semacam ini akan menghilangkan kepekaan guru dalam melihat potensi siswa, sekaligus dalam metode pengembangan potensi siswa tersebut. Seandainya usaha ini dilakukan tanpa sebuah pengetahuan yang mendasar tentang manusia sebagai individu yang unik hanya mengarah pada tujuan-tujuan pragmatis dan temporer. Proses pengajaran hanya mengaitkan hal-hal yang berada pada permukaan dalam sebuah materi pelajaran yang ada. Atau hal yang kurang baik dalam proses pengajaran adalah penekanan hafalan sebagai suatu metode, yang tanpa mengajak siswa untuk mengkaji subtansi materi yang ada secara kontekstual. Sehingga siswa kurang mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Dengan metode seperti ini siswa lambat laun tertarik oleh sebuah tuntutan-tuntutan dari luar tanpa mempertimbangkan pemahamannya dari dalam (nilai-nilai kemanusiaan). Karena sesungguhnya proses pembelajaran yang tidak menciptakan bentuk-bentuk dialekika dalam kehidupan dan pengalaman bermakna bagi siswa sama halnya memiskinkannya dari sebuah “kebaikan-kebaikan” yang dijadikan tujuan dari hasil aktualisasi dari pendidikan yang dia peroleh untuk diterapkan dalam kehidupannya. Dan kita bisa menebak, kemungkinan apa yang kan terjadi di kemudian hari jika out put pendidikan berproses dalam model pendidikan yang seperti ini.
Dari gambaran diatas sepertinya filsafat menjadi suatu hal yang patut untuk dijadikan pertimbangan sebagai problem solving dalam menjembatani “kerumitan” dalam hal ini pengetahuan guru tentang manusia (siswa). Filsafat adalah sebuah seni dalam memahami segala sesuatu secara mendasar. Dengan filsafat, guru akan mampu bertanya kemungkinan yang sudah terang (sebagai pengembangan) dan tersembunyi (sebagai inovasi) dari materi, proses pembelajaran dan permasalahan siswa yang kemudian dipaparkan sebagai konstruksi pemikiran. Sehingga dengan ini guru memiliki instrument yang mampu mendiagnosis permasalahan yang ada lebih mengena, kontekstual dan sekaligus mengembangkan menuju pada perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan. Akan tetapi seringkali persoalan-persoalan yang terlihat sederhana dalam proses belajar siswa bisa jadi diakibatkan oleh kekaburan pemahaman guru untuk melihat hal itu lebih integral dan menyeluruh selain hanya terlihat sebagai serpihan yang seolah-olah terpisah dari satu dan lainnya.
Apabila kita analogikan filsafat dan guru, seperti halnya filsafat dan logika. Bukan logika yang mengarahkan filsafat pada kebenaran, akan tetapi logika mengasah berpikir filosofis lebih tajam untuk menuju pada kebenaran atau setidaknya mendekati kebenaran. Kebenaran dalam konteks tujuan pendidikan sendiri tidak bersifat materialism, artinya ilmu pengetahuan yang diajarkan sebagai bahan ajar di kelas sesungguhnya siswa tidak hanya mengenali materi ajar sebagai “bongkahan-bongkahan” material sebagai entitas yang saling berdiri sendiri. Spesialisasi bidang pengajaran harus dipandang sebagai bentuk konsentrasi pada bidang tertentu yang dilakukan sebagai bentuk usaha untuk terus mengembangkan dengan tanpa menghilangkan keterkaitan yang vital antar bidang. Sehingga dalam waktu yang bersamaan siswa mampu memenuhi tuntutan sebagai pembelajar sekaligus sebagi insan yang sadar akan nilai-nilai kehidupan. Disinilah sesungguhnya peran filsafat dalam pendidikan.
Sebagai penutup, penulis ingat dalam sebuah buku yang dibaca (lupa judulnya) menceritakan ketika Heroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika dan sekutu dengan akibat kerusakan ekosistem yang luar biasa terdapat sebuah kejadian yang menurut saya mencengangkan, hal yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar adalah “Berapa gurukah yang masih tersisa..?” dengan kemajuan yang dimiliki oleh Jepang saat ini telah menunjukkan betapa peran guru luar biasa pentingnya bagi kemajuan suatu bangsa. Dan kita sebagai bangsa yang menganut nilai-nilai agama dan budaya yang berbeda (dengan tanpa berusaha untuk membenturkan perbedaan agama dan budaya) mempunyai keunikan tersendiri  untuk memaknai kemajuan suatu bangsa sebagai suatu hasil pendidikan yang mengkaitkan secara utuh aspirasi dari setiap potensi yang dipunyai oleh manusia sebagai Anugrah Tuhan ,dengan tanpa reduksi dan dalam payung keadilan.


                                                                                                Kamulan, 21 September 2012

 

Sabtu, 08 September 2012


SEBUAH RESENSI
Dari buku      :  Filsafat Agama
Penulis            : David Trueblood
Penerjemah    :  Prof. Dr. H.M. Rasjidi
Penerbit          : PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987
Oleh                : David Kurniahuda

Analitis Terhadap Sistem Penulisan Buku:
BAB I
KITA PERLU MEMIKIRKAN TENTANG AGAMA

Sebelum kita menginjak pada pelataran obyek dari buku ini, beserta metode dan pencapainya lebih dulu akan dijelaskan suatu perkataan yang dipahamkan secara keliru, yakni perkataan filsafat dan agama. Kedua perkataan ini meliputi bidang yang sama, yaitu bidang yang disebut dalam bahasa inggris Ultimet, yakni bidang yang terpenting yang menjadi soal hidup atau mati seseorang, dan bukan merupakan persoalan yang remeh.
Di dalam bab ini Trueblood menerangkan bahwa perbedaan antara agama dan filsafat tidak terletak dalam bidangnya, akan tetapi dalam caranya kita menyelidiki bidang itu. Filsafat berarti berfikir, sedang agama berarti mengabdikan diri. Orang yang belajar berfilsafat tidak saja mengetahui soal filsafat, akan tetapi yang lebih penting lagi ia dapat berfikir. Begitu juga orang yang belajar agama, tidak hanya puas dengan pengetahuan agama, tetapi memerlukan membiasakan dirinya untuk dengan hidup secara agama.
Seolah -olah dengan suatu pemikiran diatas terselip ketergesa-gesaan trueblood untuk mendikotomi suatu hal yang kemungkinan keduanya dapat menyatu dalam kecenderungan di dalam orang beragama yang sedang memikirkan kesadaran keberagamaanya yang menggiring pada berfikir filsafat maupun orang yang sedang berfikir/berfilsafat tentang untuk apa ia dihidupkan atau pertanyaan-pertanyaan yang mendesak lainnya, yang mengantarkan seseorang kemudian hidup sebagaimana tercantum pada nilai-nilai agama. Dan apabila definisi Trueblood diatas kita tarik dalam konteks kebudayaan dan peradaban akan akan menempatkan agama dalam ruang-ruang yang sepit dan pengab dikarenakan sebuah pandangan bahwa agama yang ditumbuhkan oleh kebodohan dan kejumudan, yang berarti mengingkari apa yang telah diharapkan Tuhan sebagi subyek di dunia dengan pikirannya. Sedangkan filsafat menempatkan diri sebagai subyek yang menciptakan “corak kehidupan” di dunia dengan “raksasa” ilmu pengetahuannya, terlepas sisi buruk maupun baiknya. Karena bagaimanapun agama yang menganjurkan pengabdian diri terhadap Tuhan, selalu saja tidak bisa dilepaskan diri yang berfikir/ berfilsafat dalam prosesnya dalam memahami hidup dan kehidupan. Atau filsafat secara ideal membutuhkan nilai-nilai agama untuk menjiwai dari hasil-hasil ilmu pengetahuan yang diciptakannya menjadi sesuatu yang tidak hanya di butuhkan oleh manusia akan tetapi juga membawa kebaikan hidup manusia dan alam secara menyeluruh.
Trueblood juga menyatakan bahwa rangkaian  pemahaman yang didasarkan atas perbedaan metodologi filsafat dan agama dalam menyelidiki bidang-bidang tertentu akan berimplikasi pada sebuah anggapan bahwa dialectical materialism juga merupakan agama, dikarenakan pengikutnya merasa kewajiban untuk menyebarkan pahamnya. Mungkin  pendapat ini disetujui jika kita memandang pada jurusan pengabdian itu saja, walaupun dialectical materialism tidak mengandung sesuatu isi yang bersifat ketuhanan.
Sesungguhnya apabila kita melihat sebuah anggapan di atas kita bisa memahami dan bisa menjelaskan tidak hanya dialectical materialism yang menciptakan sebuah bentuk pengabdian, akan tetapi tiap-tiap akhir dari suatu proses berfikir yang sungguh-sungguh akan menciptakan sebuah bentuk pengabdian walaupun itu tidak mengandung hal yang bersifat ketuhanan. Tapi kemudian kita akan bertanya, bentuk  pengabdian yang bertujuan apakah yang tidak menempatkan unsur keTuhanan, selain hal itu adalah aspirasi dari sebuah ketidakjujuran yang tersembunyi . Sehingga kita bisa melihat bahwa kata “pengabdian” yang terasa agung ternyata memiliki sebuah muatan yang sangat bisa berbeda.
Akan tetapi kita akan mengetahui sebuah akibat yang lazim dan dapat kita mengerti sebabnya dari pemakaian metode yang berbeda dari filosof dan agamawan dalam memandang kebenaran. Seperti yang diungkapkan oleh Trueblood “ Ahli fisafat, jika ia berhadapan dengan penganut sebuah aliran pemahaman yang lain bisanya akan bersifat lunak, oleh karena itu ia sanggup meninggalkan pendiriannya apabila merasa dirinya salah, sebaliknya agamawan akan mempertahankan secara habis-habisan, karena ia sudah mengikat dirinya dan mengabdikan dirinya padanya.”
Sebuah paradigma berfikir yang menafikan sebuah kebenaran yang dari manapun datangnya, walaupun itu dari agamawan maupun filosof adalah sebuah hal yang paradoks dari sebuah pencapaian yang sebenarnya diharapkan dan makna kebenaran sekaligus cara yang harus ditempuhnya. Untuk itu trueblood menawarkan sebuah alternative dalam penyelidikan tentang agama dengan menggunakan metode yang dipakai plato (filosof yunani, 429-347 M) dan Kant (Filosof Jerman, 1724-1804).metode ini dapat dinamakan kritis dan dialektis. Yaitu sebuah metode yang berusaha untuk bersikap adil terhadap pendirian-pendirian yang bertentangan, tidak dengan menghargai pendirian-pendirian itu dengan cara yang kaku, akan tetapi selalu bertanya pada tiap-tiap problem, apakah akibat-akibat problem itu. Suatu pendirian kelihatannya baik dan masuk akal akan tetapi apabila kita teliti sedalam-dalamnya, kita akan mendapatkan keterangan yang bertentangan.
BAB II
AGAMA DAN FILSAFAT

Dalam bab ini trueblood mengajak pembaca untuk lebih jernih dalam memandang filsafat dan agama. Atau setidaknya menggambarkan pemikiran Trueblood sendiri dalam melihat agama dalam perspektif filsafatnya. Menurutnya, kita dapat mempelajari suatu agama, termasuk didalamnya sejarah alam fikiran dalam agama itu, kita dapat pula membaca literature-literatur keagamaan atau dapat pula mempelajari cara-cara ibadat dalam suatu agama atau pelajaran-pelajaran tertentu dalam masyarakat yang beragama itu.
Akan tetapi yang lebih penting adalah mempelajari cara yang dinamai mempelajari kritik yang simpatik terhadap suatu agama. Sebagaimana kita ketahui bahwa sukar bagi seseorang yang menganut agama dengan sifat yang bersemangat memandang agama lain dengan rasa cinta dan hormat. Mau tidak mau bahwa pandangan ini memberikan sebuah ruang refleksi bagi para agamawan bahwa bentuk perasaan yang menegasi keberadaan agama lain sebagai bagian dari kenyataan dalam kehidupan merupakan sebuah bentuk pengingkaran terhadap perintah dalam agama itu sendiri.
Munculnya sebuah keragu-raguan para filosof berawal dari yunani kuno, banyak sekali perbincangan mengenai keyakinan-keyakinan mereka tentang dewa-dewa dan watak-wataknya mengakhiri dengan kesimpulan bahwa yang mereka akui sebagai dewa itu adalah khayal belaka. Begitu juga cerita-cerita dalam epik Mahabarata dan Ramayana,walaupun kemudian diketahui sebagai khayalan pengarang-pengarangnya walaupun karya mereka merupakan karya sastra yang mempunyai nilai budaya tinggi.
Oleh karena itu sebuah Zat yang kita sembah lima kali dalam semalam dan sekali seminggu dalam jum at masjid merupakan suatu khayalan pula??? Disinilah Trueblood mengajak kita untuk mengoreksi atau melakukan kitis dialektis lebih dalam mengenai keyakinan kita, yang mungkin saja tidak pernah tersentuh upaya-upaya penyelidikan yang sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya yang harus kita ketahui bukanlah merupakan sebuah benda, akan tetapi apa yang sesungguhnya ada.
Kebenaran utu bersifat kompleks, tdak sederhana, oleh karena itu perlu menerangkan bermacam-macam pandangan yang berlainan atau bertentangan akan tetapi harus dikemukakan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dalam membicarakan soal-soal pertentangan kita harus menjaga dari dua kesukaran, pertama, kita harus menjaga diri dari sikap suka menolak apa yang kita tidak setujui, kedua, kita harus menjaga diri dari sikap suka menerima apa yang kelihatannya dapat kita setujui. Sesungguhnya yang ditawarkan ini bukanlah suatu sikap yang akan menciptakan skeptisme, akan tetapi menawarkan sebuah jalan kesabaran dalam melakukan sebuah penyelidikan yang adil. Atau setidaknya mungkinkah penyelidikan terhadap agama akan bersifat netral?? Seorang ahli agama Protestan Paul Tillich, mengatakan seorang yang bersikap netral dalam menyelidiki agama sudah barang tentu ia menolak bahwa agama itu suatu hal yang Ultimate, soal hidup dan mati. Sikapnya itu sudah diartikan bahwa ia memungkiri hal yang semestinya harus dipelajarinya dengan jujur. Jadi sebaik-baiknya sikap adalah sikap seseorang yang sungguh sungguh ingin mengetahui kebenaran itu dimana saja terletak dan bersedia untuk mendasarkan keterangan orang lain, yang mungkin akan memudahkan usahanya untuk mendapatkan kebenaran itu.
Sebenarnya trueblood mencoba untuk membuka kelemahan paradigatis para agamawan bahkan para filosof sendiri dalam proses mencari sebuah kebenaran dengan cara menampilkan sebuah kerangka piker yang terbuka. Dalam pengertian akal dibebaskan untuk mencari sebuah kebenaran dari mana datanganya dan dibebaskan dari atribut-atribut yang menjebak, walaupun itu berasal dari perasaan (memiliki kebenaran).
Pascal (filosof Perancis, 1623-1662) ahli agama Kristen mangatakan ” Adalah bahaya kalau kita menunjukkan manusia sebagai mkhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang, dengan tidak menunjukkan kebesaran manusia sebagai manusia, sebaliknya adalah berbahaya menunjukkan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukkan kerendahannya dan lebih berbahaya lagi kalau kita tidak menunjukkan sudut kebesaran dan kelemahannya sama sekali”
Terkait akal dan wahyu trueblood terjebak dalam pengklasifikasian yang didasarkan pada dialektika sejarahnya, sehingga memunculkan sebuah pembagian agama didasarkan pada pemikirannya terhadap wahyu itu diturunkan, yaitu adanya agama langit dan agama bumi. Klasifikasi semacam ini dalam konteks keotentikan sebuah agama menempatkan tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dalam tempat yang lebih tinggi dari pada agama-agama bumi (hindu, budha, konfusiusm dan dll). Penempatan ini membangun watak superioritas atau setidaknya mematahkan sendiri semangat yang di bangun dalam berfilsafat dengan cara membuka pintu kebenaran yang datangnya dari manapun. Dalam Kitab Suci Al Quran, Allah swt berfirman, “ Dan mereka berkata : Seandainya kita mendengarkan dan memikirkan, tak mungkin kita akan menjadi penghuni neraka.” (QS. 67 :10)

BAB III
KEMUNGKINAN MENCAPAI KEBENARAN

Ada suatu hal yang menarik yang di tulis oleh Trueblood sebagai berikut “ jikalau keseluruhan atau sebagian suatu agama tidak benar,kita harus menolaknya. Untuk memelihara suatu kepercayaan yang tidak benar, walaupun kepercayaan itu berfaedah bagi masyarakat, adalah suatu sikap yang bertentangan dengan diri sendiri. Jikalau suatu agama itu tidak benar maka agama itu jahat. Jikalau Tuhan itu tidak ada maka doa adalah membuang-buang waktu saja dan tidak dapat dipertahankan. Jika tidak ada kehidupan sesudah mati, sebaiknya kita mengetahui hal tersebut dengan bukti-bukti yang nyata dan selekas mungkin”.
Dalam bab ini Trueblood mencoba untuk menyingkap dan menunjukkan cara-cara berfikir yang terperangkap dalam sebuah kebuntuan atau penegasian berfilsafat, yang dalam kelanjutan waktu justru akan membatasi dari kebenaran yang dicarinya (walaupun sebenarnya aliran-aliran dalam filsafat mempunyai cara dan corak sendiri dalam mengartikan sebuah kebenaran) Model filsafat eksistensialismenya, yang tidak terjebak dalam sebuah nihilismenya maupun kebuntuan metodenya banyak memberikan sebuah keterangan-keterangan yang begitu jelas dalam melihat sebuah model filsafat yang lain beserta kelemahan-kelemahan yang menghinggapinya dalam memandang agama.
Salah satu yang disebutkan adalah kelemahan subyektifisme., sebuah anggapan bahwa kebenaran adalah suatu hal yang mengenai seseorang yang bersangkutan. Akibat dari logika dari anggapan seperti ini, suatu hal yang ada buat seseorang dan tidak ada buat orang lain, adalah sama halnya sebuah teori yang mengatakan bahwa pengetahuan itu hanya menunjukkan apa yang terdapat pada pikiran orang yang mengetahuinya. Pendapat seperti ini dalam konteks keberagamaan, sama halnya mengamini sebuah anggapan bahwa Tuhan hanya pada orang-orang yang beragama. Keimanan hanya diwajibkan bagi orang yang mengetahui Tuhan dalam kesadarannya. Kalau kita teliti pemahaman ini terlihat bahwa subyektifisme menutup keterbukaan Obyektifitas untuk diketahui oleh semua orang menjadi sebuah potongan-potongan subyektifitas yang kehilangan keotentikannya. Karena menurut pandangan ini letak kebenaran adalah pada tiap-tiap pikiran walau bagaimanapun pikiran itu, bukan terletak pada apa yang sesungguhnya ada. Dan anggapan semacam ini sama halnya mengatakan bahwa Tuhan bukanlah adalah Dzat Yang Rahman dan Rahim.

Sebaliknya hanya saja letak berbahayanya obyektifisme (rasa memiliki kebenaran sepenuhnya) dalam kehidupan adalah menciptakan sebuah sikap menutup sebuah kemungkinan-kemungkinan kebenaran dari orang lain. Atau menutup penyelidikan lebih lanjut karena merasa sudah memiliki kebenaran, sehingga akan menciptakan benih-benih kejumudan dalam kelanjutannya. Sehingga mencederai sendiri dari makna obyektifitas yang ia pahami. Dan apabila kita kaitkan dalam kehidupan keberagamaan, bersikap mutlak dalam beragama akan lebih berakibat negative dalam sebuah lingkungan yang pluralitas dalam pemeluknya. Karena tidak hanya lain komunal perbedaan pikiran itu ada, tapi tiap-tiap pikiran sangat memungkinkan perbedaan itu ada walaupun itu satu komunitas.
Selanjutnya model kritis dialektis yang dikembangkan oleh Trueblood juga membuka tirai kesulitan-kesulitan yang menghinggapi oleh realisme, yang terletak bukan pada apa yang sesungguhnya ada akan tetapi pada kesulitan pikiran untuk mencapainya dalam mengetahui. Begitu juga dengan pragmatisme, yang beranggapan bahwa suatu keterangan itu benar, kalau relaitas itu sesuai dengan yang diterangkan.

BAB IV
RAHASIA PIKIRAN BEKERJA UNTUK MENGETAHUI SUATU PERKARA

Dalam bab ini yang ditulis bantahan Trueblood terkait anggapan sebagian filosof yang memandang rendah terhadap agama sebagai berikut “ kita harus menolak mentah-mentah anggpan beberapa orang yang mengatakan agama hanya dapat hidup subur di atas kebodohan, karena dasarnya itu merupakan hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia. Kalau anggapan itu kita terima, akan berarti bahwa bidang keagamaan akan menjadi lebih kecil pada tiap waktu manusia mempunyai pendapat baru di bidang pengetahuan”
Terkait uangkapan diatas Trueblood, menerangkan dengan jelas bagaimana pikiran dapat mengetahui sesuatu di luar dirinya. Metode kritis dialektis yang dikembangkannya tidak hanya memberi keterangan banyak hal terhadap proses mendapatkan pengetahuan akan tetapi juga berani “menghakimi” pikiran sendiri  terhadap kemungkinan-kemungkinan pikiran terjerat pada kesalahan metode berpikir dalam sudut pandang filsafatnya.
Suatu hal yang menarik pula untuk disimak adalah bahwa kebanyakan dari kita tidak terlalu pusing memikirkan bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu hal diluar kita dengan pikiran, bagaimana sesuatu yang dapat diketahui dengan pikiran beralih menuju perasaan dan bagaimana sebuah pengatahuan dapat diketahui oleh orang banyak. Pandangannya mengenai hal ini membuat kita ingin berlama-lama untuk mengetahui lebih dalam lagi. Sebenarnya tanpa disadari bahwa penjelasan-penjelasan semacam ini mengukuhkan bahwa Trueblood dengan fisafatnya mengantarkan pada sebuah ilmu murni/ unity atau wahdah. Yang selanjutnya menbuka selubung-selubung kebuntuan metodologis pada metode-metode alternative dan pemahamannya yang mendekati pada obyektifitas telah meneranginya dalam memahami sisi parsialitas dengan menyeluruh. Walaupun bahasa yang digunakan begitu ringan dan mudah dipahami.

BAB V
BUKTI-BUKTI DAN SIFAT-SIFATNYA

Dalam mencari sebuah kebenaran konteks filsafat, tentulah suatu hal yang tidak boleh tidak adalah menghajatkan sebuah bukti. Dikarenakan bukti ini adalah salah satu mata rantai yang mengantarkan pada sebuah kebenaran. Artinya bukti ini adalah membicarakan dalam dirinya pada pikiran, bahwa bukti adalah sebagai kumpulan puzzle yang bercerai berai atau kalau bukan satu bukti telah dapat menunjukkan sebuah kebenaran. Dalam pandangan Trueblood, bahwa kebenaran itu bersifat kompleks sehingga didalamnya terdapat lapis-lapis yang akan terbuka untuk kita pahami untuk menuju pada kebenaran. Dan “lapis” inilah yang kurang lebih dikatakan sebagai bukti.
Dalam mencari bukti Trueblood menyandarkan pada beberapa hal, yang pertama Authority adalah bukti yang dapat diterima. Menurut yang dia gambarkan dal;am contoh, kita didak dapat mngetahui sebuah penyakit  dengan pengetahuan yang benar tanpa menyandarkan pada seorang dokter yang ada dibidangrnya, bukan bertanya pada seorang tentara. Atau kita akan bisa mengetahui sebuah metode pengajaran dengan baik bila tidak  bertanya pada seorang guru, bukan pedagang. Dan contoh-contoh sejenisnya. Walaupun hal ini terlihat benar tanpa celah, akan tetapi hal semacam ini akan benar-benar menyisakan sebuah pertanya pada kita, seberapa mampukah dokter mengetahui yang sebenarnya terhadap sebuah penyakit?? Atau seberapa pahamkah guru memahami metode pengajaran yang baik?? Diamanakah standar dari pemahaman tentang penyakit dan metode pembelajaran yang bisa dikatakan baik?? Hal ini perlu kita pertanyakan dikarenakan sifat pengetahuan itu selalu dinamis. Akan tetapi lagi-lagi kita akan menyadari bahwa untuk menyandarkan pengetahuan kita terhadap orang yang lebih tahu adalah sebuah upaya pula untuk mencari sebuah kebenaran juga.  Sedang bukti yang kedua adalah Intuisi, menurutnya intuisi yang baik adalah orang-orang yang sudah lama berpengalaman dan berkecimpung dalam suatu perkara. Sesungguhnya fungsi logika adalah tidak untuk memimpin pikiran kita untuk bekerja sesudah pikiran memperhatikan bahannya. Dan menurutnya fungsi dari intuisi adalah menambah perasaan kita dan mempertajam kesadaran kita, yang akan menjadikan seseorang untuk mengetahui kebenaran ketika kebenaran itu terlihat.

BAB VI
HIPOTESA TENTANG ADANYA TUHAN

Disinilah sebenarnya penulis beranggapan bahwa filsafat dan agama itu bisa menyatu dalam mencapai sebuah kebenaran, walaupun tidak mutlak dalam konteks kemanusiaan. Diatas telah dituliskan bahwa apabila agama itu tidak benar, maka agama itu jahat walaupun sefaedah apapun agama itu bagi masyarakat dikarenakan bertentangan dengan diri sendiri. Kata “tidak benar” bermuatan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan akal. Ini memberi pengertian bahwa agama adalah sebuah kepercayaan yang didasarkan pada sebuah akal sehat yang menjadi fitrah bagi manusia. Dan diri sendiri, yang digambarkan jiwa dan raga beserta potensinya adalah sesuatu yang rasional, dan apabila pikiran dalam upayanya mengantarkan pada suatu hal yang tidak benar, sesungguhnya itu bertentangan dengan diri sendiri. Dan apabila ilmu pengetahuan yang terlahir oleh rahim filsafat menciptakan sebuah produk yang bertentangan dengan sebuah “diri” individu maupun massa baik dari sisi nilai,fungsi dan akibatnya maka pastilah bahwa produk ilmu pengetahuan tiu tidak benar.
Dalam pembahasan mengenai bab diatas Trueblood menulis ” susunan kata ‘Tuhan itu ada’, tidak hanya sesuatu ide yang terdapat dalam pikiran (mind) manusia, akan tetapi menunjukkan bahwa Zat yang dinamakan Tuhan itu berwujud yang obyektif, yaitu sudah ada sebelum kita sadar akannya dan sekarang tetap ada baik manusia menyadari atau tidak”. Sesungguhnya yang ditulisnya itu mungkin jadi sebagai hal yang dapat mengungkapkan dalam diri kita mengenai perkataan Tuhan yang kita maknai sebagai apa yang terdapat dalam waktu yang bersifat azali dan abadi. Ini sebenarnya menunjukkan antara yang riil dan yang hayal. Trueblood juga memberikan perkataan yang dapat kita jadikan sebagai bahan refleksi “ Apakah zat yang kita serahkan hidup dan mati kita kepadanya itu hanya suatu hasil dari cita-cita atau kemauan kita atau apakah zat itu merupakan sesuatu yang lebih dari cita-cita dan kemauan??”
Dan selebihnya pembahasan menjelaskan mengenai kemungkinan manusia mapercayai sedalam-dalamnya akan keberadaan Tuhan dengan diakhir proses berfilsafatnya, yang dengan ini membuka pintu selebar-lebarnya untuk lebih mengetahui juga kemungkinan seseorang yang dengan proses berfikirnya yang sungguh-sungguh berakhir pada ketidakpercayaan adanya Tuhan. Dalam konteks filsafat, hasil apapun itu yang didapat dari sebuah proses yang sungguh-sungguh haruslah tetap mendapatkan penghormatan yang tidak terkurangi. Theistic relism adalah aliran filsafat yang khusus mempelajari hal ini.
Apabila kita fikirkan bahwa ketidakpercayaan seseorang terhadap Tuhan, setelah melalui proses yang sungguh-sungguh dalam berfikir/berfilsafat tetap saja menunjukkan sebenarnya kekurang jujuran terhadap diri sendiri sangat berperan dalam menghalangi akhir dari sebuah pencapainnya atas kebenaran. Akan tetapi hal ini dalam konteks filsafat, lebih berharga dari sebuah kepercayaan yang tanpa melalui proses pengujian.
Dan aku tidak menganggap diriku sepi dari kesalahan sesungguhnya nafsu manusia itu selalu memerintahkan untuk melakukan kejahatan” ( QS. Yusuf : 53)

KELEBIHAN DARI BUKU INI :

Buku ini termasuk dalam kategori lawas seperti yang tertulis pada tahun percetakannya, sehingga mungkin kita bisa membayangkan bahwa segala isinya akan tertinggal oleh evolusi dari perkembangan dalam dunia pemikiran filsafat yang bergerak secara dinamis. Akan tetapi kita bisa mempertanyakan untuk tidak tergesa-gesa mempersepsikan segala sesuatu yang lawas itu selalu tidak muatan isi yang kontekstual. Atau ternyata dalam konteks keberagamaan kita mungkin saja sudah jauh pemahaman kita mengenai dialektika sejarah dan hokum-hukum yang tercipta olehnya, akan tetapi kita luput terhadap hal yang nyata-nyata dekat dan sangat mendasar. Kemungkinan buku ini bisa menjawab menjawab hal tersebut.
Trueblood dengan aliran filsafat eksistensialisme dan dipersenjatai dengan metode kritis dialektisnya bisa dikatakan mampu menerangkan sebuah kekaburan pemahaman atas sesuatu dengan garis-garis yang jelas. Garis-garis ini bermakna bahwa tiap-tiap hal yang kita coba pahami, sedang kita masih kurang peralatan mengarungi dari pengetahuan tentang obyek akan menyisakan sikap skeptis. Dan skeptis inilah kekaburan yang penulis maksud. Dikarenakan skeptis adalah berisi tentang sebuah hal yang riil dan  hayal yang menyatu. Sesuatu yang obyektif adalah tersendiri baik diketahui maupun tidak dan sesuatu yang hayal adalah bentuk yang bertentangan untuk menuju dalam memahami yang obyektif. Dan disinilah Trueblood mencoba memisahkan hal yang obyektif dari balutan subyektifisme. Sehingga akan menampak obyektifitas sesuatu dengan apa adanya, walaupun tidak mutlak. Dan menjelaskan tiap-tiap isi dari subyekifisme beserta kelemahannya. Memang sesungguhnya tidak ada kemutlakan apa pun dari manusia dan hasil-hasil dari upayanya. Dan karena itulah pengetahuan, dalam hal ini filsafat selalu dinamis.    
Metode kritis dialektis yang dikembangkan oleh Trueblood dalam memikirkan hal-hal yang penting dan mendesak dengan sendirinya mengantarkan pembaca dalam sebuah pemahaman, bahwa kekakuan pemikiran kita pada dasarnya karena banyaknya hal sekeliling kita yang ternegasi dari kesadaran kita untuk difikirkan. Di karenakan sebuah dikotomi yang tercipta oleh sesuatu yang kita anggap terlalu penting, sehingga menimbun realitas lainnya.  Perlakuan yang semacam ini melumpuhkan kepekaan kita dalam melihat sisi pergerakan dan dinamika dari realitas dan  yang “Berdiam” dibaliknya. Hal ini sering digambarkan oleh penulis buku bagai memakai kaca mata kuda. Dan sungguh disayangkan memang dalam kenyataan pemikiran kita  sering melihat dirinya sendiri. Penjelasan Trueblood terkait cara kerja pikiran dalam memahami sesuatu, bukti-bukti, bab keindahan, atau bahkan hipotesa adanya Tuhan memberikan pengertian sendiri, bahwa pikiran denngan segala keterbatasannya haruslah membuka diri dari sesuatu diluar dirinya untuk memahami dan dipahami sebagai upaya untuk menemukan kebenaran. Atau lebih tepatnya bahwa membiarkan fikiran untuk bebas memikirkan sesuatu yang dapat dipikirkan adalah bagian dari sifat dasar pikiran itu sendiri.

KELEMAHAN BUKU:

Untuk menilai kelemahan dari buku ini penulis harus “keluar” dari subtansi kajian buku. Dikarenakan memang banyak hal yang baik untuk kita pelajari didalamnya. Akan tetapi penulis menemukan hal yang sangat terlihat sebagai kelemahan, dikarenakan banyaknya hal yang ingin Trueblood bahas diupayakan dalam mendekati  obyektifitas. Kelemahan itu adalah menciptakan terlalu lama”asik maksuk” dengan rasa pencapaian yang dimiliki. Pembahasan yang seterang-terangnya ini hanya menjadi hal yang beku kembali ketika hanya bergelut pada pencapaian pemahaman pada ilmu murni/ unity setelah kita dihadapkan pada sebuah relita empiristik, khususnya terkait nilai yang “mendiami” setiap hal yang factual dan dinamis, sedang hal ini selalu berganti kemasan seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang dicapai oleh manusia. Karena sesungguhnya (menurut penulis) sebuah pengetahuan setelah dipahami akan menggerakkan seseorang untuk melaksakan kemanusiaanya lebih progresif. Jadi kalaupun filsafatnya Trueblood tentang agama menjeburkan diri pada kedalaman yang obyektif, bukan berarti bahwa agama itu jumud.
Upayanya untuk menemukan kelemahan-kelemahan pada aliran filsafat lain disamping ketajamannya dalam menerangkan kelemahan itu, sesungguhnya teori yang dia suguhkan sebagai pengakuannya yang luput untuk disadari dalam membutakan diri akibat yang ditimbulkan dalam berpikir filsafat itu sendiri.
    

DUNIA DAN PERENUNGAN

Kesadaran terbentur kesunyian, entah berapa ribuan bongkahan-bongkahan ingatan yang tidak mengingatkan sama sekali arti dari sebuah refleksi. Terlena pada kelembutan tarian buas harapan-harapan yang terus akan menguap karena kehilangan kepastiannya. Tengggelam dalam ribuan senyuman sendiri yang tersembunyi kemunafikan, mungkin melegakan.. dan waktu bagai gemerincing koin-koin emas yang terus teringat-ingat untuk tetap menjala kepalsuan. Telah lama berlari dan menjauh, sampai otot-otot kesemangatanpun membiasakan diri untuk tunduk dan memaklumi. sampai tubuh menjadi kaku mengikuti setiap detak jarum jam, lupa deretan angka yang melingkar.
Tak usah kau tanyakan sebuah arti, karena arti tak dapat mengimbangi seberapa besar hati mengantongi keserakahan. Arti tak dapat mengukur setuhan kulit ari dengan halus kemilau yang tercecap sesuai harap. Kata “arti” hanya sedikit mengganggu saat tertawa kepuasan untuk lebih lebar. dan  kata “arti” tak mampu membantu untuk mengembalikan kesedihan yang kau anggap dangkal dan sepele. Bila kau tanyakan arti, apa itu kemajuan di saat derap langkah kaki zaman menggilasnya. Inilah jalan itu, jalan yang terbaik yang banyak dilakukan oleh banyak orang-orang pintar. Bila sekali lagi kau tanyakan arti, bersiap-siaplah dengan kesunguhan yang akan melemparkanmu keluar dari garis zaman.
Lihatlah dunia bagai lipatan kertas yang tanpa kau lelah sampai di ujung benua. Lihatlah dunia bagai lukisan seniman ternama dimana aku dapat melihat kornea matamu membesar karena menatap penuh takjub. Apalagi jika kau menginginkan segala sesuatu yang instan disinilah surganya. Celah apa untuk keinginanmu yang tidak dapat kau tumpahkan dimana kaki keraguanmu berjejak. Kau telah banyak berpikir sampai langkahmu terlihat hati-hati bahkan apa yang kau rasakan sekalipun. Apakah tak dapat kau tangkap permainan untuk apa para politisi yang kelihatannya menunjukkan keseriusan membela rakyat, dan tidak pula mampukah kau melihat semangat apa ustad-ustad di televise yang kau lihat sambil menyiapkan berbuka puasa kemarin. Kau memahami kontradiksi ini terlalu rumit seperti kau tak mengenal inilah dunia…
Duduklah bersamaku, setidaknya rasa kasihanku tidak hanya semata-mata apa yang telah kau pikirkan. dan rasa kasihan ini mengantarkanku untuk menjadi lebih semangat mengatakan, lupakan saja bila kau berpikir untuk sekedar mencapai kebijaksanaan. Dunia ini adalah aku yang mempunyai sifat yang tanpa kau sepenuhnya merasa menjadi keluargaku, hanya menjadikan bahan tertawaan bagi saudara-saudaramu. Lihatlah aku tak pernah berpikir sedikitpun atas alasan apa aku menggemakan tertawaku dan meratapi kesedihanku. Semua itu adalah naluri. iya, naluri manusia yang memang patut untuk mengapung dipermukaan senang dan sedih. Walau sesungguhnya kurasakan kedua-duanya adalah kedalaman sepenuhnya.
Jika kau mengatakan kebijaksanaan bagai sebuah pematang yang tepat menggaris diantara kelebihan dan kekurangan, yang juga kau katakan memurnikan kembali kemanusiaan sebagai akibat menghamba pada Tuhan yang katamu Maha Kasih. Dan juga kau pernah mengatakan kebijaksanaan bukanlah materialisme ataupun idealism, tapi penglihatan akal sehat dan nuranimu atas sebuah fakta. Sampai hatimu tak bisa dilepaskan kepedulian pada kepentingan orang yang kau anggap lemah, walau dengan kemampuanmu yang sangat terbatas. Itu menurutku menyusahkanmu, sampai aku sendiri bingung untuk memaksa diriku memahami arti kasihanku terhadapmu. dan sebaliknya tak terpikir olehku kau punya kesempatan untuk mengasihaniku dengan semuanya ini. karena inilah dunia.
Sebuah dunia yang sakit….
                                                                                                                                                2 pagi
                                                                                                                      Kamulan, 7 September 2012