KEBEBASAN
ADALAH OASE??
oleh:
David kurniahuda
Ada
hal yang patut mendapatkan porsi yang cukup untuk pembahasan arti kebebasan,
hal ini bukanlah suatu usaha yang utopis dalam paradigm yang telah menggejala materialisme.
Justru hal ini dianggap penting karena setidaknya dari tulisan ini memberikan ruang
refleksi untuk menilai kembali suatu gejala tersebut pada suatu kontruksi pola
piker yang lebih manusiawi. Barangkali tulisan ini mencoba untuk sedikit
menyibak terhadap gejala materialism dikarenakan beberapa hal, yang pertama bahwa tulisan ini adalah suatu
kontruksi paradigm yang sama sekali belum final dan selalu siap untuk berubah, ini
lebih menunjukkan suatu keadaan dimana penulis masih dalam tahab belajar
menulis kedua kata “gejala” adalah
sebuah pemikiran yang beraksentuasi pada suatu keadaan tertentu, sehingga ini
menunjukkan kondisi hetero sosio cultural yang padat.
Dalam
pengertian yang banyak kita terima, bahwa kebebasan diartikan sebagai suatu
kondisi pelepasan yang “tanpa batas” terhadap potensi khususnya yang terkait fisikly.
Sehingga arti kebebasan disini bersinggungan dengan nilai kemanusiaan yang
menjadi kodrat manusia dalam memaknai sebuah dimensi-dimensi dalam
kehidupannya. Jika kebebasan ini
berdasar pada fisikly semata, hal yang patut kita pertanyakan adalah
seberapakah kebebasan itu sepenuhnya bisa terwujud. Artinya seandainya
kebebasan yang seperti itu bisa mewujudkan diri sepenuhnya, maka ini akan
berimbas pada sebuah anggapan yang kliru bahwa fisik manusia dalam
mengiplementasikan kebebasan juga tak terbatas. Dan ini bertolak belakang
dengan sebuah fakta bahwa tangan kita bisa mengangkat beban yang bebas kita
tentukan beratnya. atau yang bertautan dengan nilai, bahwa perbuatan kita
selalu memungkinkan membawa konsekuensi berupa benturan. Hal ini memberikan
sebuah gambaran pada kita bahwa kebebasan yang hanya didasarkan pada fisik
semata, adalah sebuah keangkuhan sekaligus menunjukkan kecacatan. sedangkan
disisi lain walaupun dalam konteks kemanusiaanpun kebebasan mempunyai konotasi
yang negative dikkarenakan arti sebuah kebebasan yang justru membatasi
kebebasan orang lain.
Terus
sesungguhnya kebebasan itu apa? apakah arti sebuah pertanyaan yang berangkat
dari kebuntuan setelah munculnya kesadaran kebebasan yang membatasi kebebasan
orang lain adalah bukanlah kebebasan? dua pertanyaan ini akan mengantarkan kita
pada sebuah perpindahan paradigm lama menuju sebuah anggapan baru yang masih
buta dikarenakan belum tuntasnya kita melepaskan materialism dalam pikiran kita.
Hal ini memungkinkan skeptisime melanda sebagai konsekuensi atas terputusnya
“jembatan” antara yang materi dan yang non materi, antara raga dan jiwa.
bagaimana kita bisa mengurai sebuah pertanyaan ini sedang dalam waktu yang
bersamaan kita masih tercipta dualism. Sesungguhnya keadaan semacam ini
mengingatkan kita bahwa bongkahan-bongkahan cadas materialism akan mengalami
kebuntuan yang serius dalam mengartikan kebebasan, jikalau tidak bisa dikatakan
bahwa kebebasan yang diwujudkannya hanyalah sebuah kebebasan yang premature dan
sekaligus tanpa nyawa.
Kebebasan
seringkali kita dipersonifikasikan dalam puisi-puisi sebagai sebuah burung yang
mengepakkan sayap kecilnya di keleluasaan langit. sesungguhnya keadaan semacam
ini bukanlah pertunjukkan paradoks yang diukur secara “kuantitatif” antara
sayap yang kecil dan luasnya langit. akan tetapi justru adanya “ terlepasnya”
materialism sebagai satu-satunya unsure yang mendominasi unsure yang lain. Dan
dari sinilah sesungguhnya babak baru untuk menfikirkan kemungkinan lain itu
mendapat jawaban yang walaupun masih remang-remang. seandainya burung tersebut
adalah analogi yang banyak digambarkan dipuisi-puisi, Sesungguhnya apakah yang
ingin disampaikan oleh penulisnya? adalah terlepasnya “kebuntuan” atau stagnasi
pada kondisi terbukanya keselarasan antara keseluruhan potensi diri, kesadaran
dan sesuatu diluar dirinya (alam). keselarasan disini menggambarkan kesejenisan
antara potensi manusia dan alam. Pikiran tidak bisa berpikir tentang apapun,
bahkan memikirkan dirinya seandaianya pikiran dan sesuatu di luar dirinya tidak
mempunyai “kesejenisan”. Perasaan manusia tidak akan berfungsi ketika alam
tidak mencerminkan sebagai wadah bagi manusia untuk mengejawantahkan rasa
kemanusiaanya di dalamnya. dan hal ini sekaligus sebagai bantahan terhadap
sebuah materialism. Jadi jikalau ada seorang atheis yang beranggapan bahwa alam
digerakkan oleh sebuah kekuatan yang buta, maka kita perlu menanyakan bagaimana
sebuah kekuatan yang buta itu menggerakkan alam beserta tujuan yang dimilikinya,
keadaan paradox ini sesungguhnya tidak bisa kita mengerti. Karena konsekuensi
dari kebutaaan ini adalah terciptanya suatu kondisi yang disharmonitas, acak
dan tidak bisa dimengerti oleh rasio sehat, walau sesederhana mungkin.
Keselarasan
antara alam dan manusia yang kita bilang sebagai kebebasan bukanlah sebuah
keadaan yang berimplikasi pada kebajikan yang dapat dihitung secara kuantitas
dari sesuatu diluar manusia. Lagi-lagi anggapan semacam ini masih menyisakan
kemungkinan yang luput dari hal yang kita mengerti bahwa tiap-tiap entitas alam
saling mempunyai hubungan yang tak terpisahkan pada dan dalam kediriannya. Disisi
lain anggapan semacam ini masih memperteguh bahwa tiap-tiap kedirian
tersembunyi kekhasan yang terpisah dari satu dan lainnya. sehingga masih
memberikan ruang bagi terciptanya akhir kondisi chaos. sebagai contoh konkrit,
adanya beragam jenis binatang, sesungguhnya mereka terikat dalam sebuah hokum,
yaitu hokum keseimbangan. Keseimbangan ini tercipta dengan mengambil sebuah
bentuk rantai makanan.walaupun dalam proses mangsa dan dimangsa pada binatang
itu mencerminkan kondisi chaos, akan tetapi itu bukanlah sebuah akhir. Ada
sebuah “tujuan besar” yang menciptakan kondisi tersebut untuk menciptakan
sebuah keseimbangan, akan tetapi cara seperti tidak berlaku pada manusia. Hal
ini setidaknya memberikan gambaran, ketika manusia mampu mengfungsikan semua
potensi yang dimilikinya, ini sama artinya dengan pelepasan batasan-batasan
yang mengungkum pada sebuah anggapan dan tindakan yang terbatas. Lagi lagi kita
berhadapan dengan sebuah persoalan yang rumit terkait arti mengfungsikan semua
potensi diri, bagaimana sesuatu yang kita fungsikan adalah potensi yang juga
berada dalam diri kita. Seandainya potensi kita analogikan sebagai robot maka
kita cukup memencet tombol yang dibutuhkan supaya robot melakukan apa yang di
inginkan si subyek. Sesungguhnya daya apa yang menggerakkan seluruh fakultas
diri yang merupakan bagian integralnya. Seandainya daya tersebut hanya
menggerakkan fakultas diri yang hanya merangkum hal-hal yang factual dan
materialistic dapatlah kita beranggapan bahwa keadaan semacam ini bukanlah
sebuah rasio yang terbuka, karena hanya mereduksi menjadi unsure inderawi saja.
hal ini akan memperkuat bahwa keselarasan adalah sebuah “tujuan” yang
tersembunyi di balik hal yang bersifat material. Sehingga dengan ini akan
membuka jalan yang lempang dan terbuka untuk memahami banyak hal dalam kesatuan
yang aktif dan dinamis. dan disinilah wilayah kebebasan itu menyata sebagai hal
yang dinamis. Sebuah kebebasan yang tidak seperti di kontruksi fenomena yang
ada dalam filsafat modern dan “anaknya” scientific. dan disinilah implementasi
dari kebebasan itu menciptakan kebebasan lainnya dikarenakan kebebasan itu
bertalian erat dengan kebajikan, keadilan dan nilai-nilai luhur lainnya.