Selasa, 14 Agustus 2012

KEBEBASAN ADALAH OASE??
oleh: David kurniahuda
Ada hal yang patut mendapatkan porsi yang cukup untuk pembahasan arti kebebasan, hal ini bukanlah suatu usaha yang utopis dalam paradigm yang telah menggejala materialisme. Justru hal ini dianggap penting karena setidaknya dari tulisan ini memberikan ruang refleksi untuk menilai kembali suatu gejala tersebut pada suatu kontruksi pola piker yang lebih manusiawi. Barangkali tulisan ini mencoba untuk sedikit menyibak terhadap gejala materialism dikarenakan beberapa hal, yang pertama bahwa tulisan ini adalah suatu kontruksi paradigm yang sama sekali belum final dan selalu siap untuk berubah, ini lebih menunjukkan suatu keadaan dimana penulis masih dalam tahab belajar menulis kedua kata “gejala” adalah sebuah pemikiran yang beraksentuasi pada suatu keadaan tertentu, sehingga ini menunjukkan kondisi hetero sosio cultural yang padat.
Dalam pengertian yang banyak kita terima, bahwa kebebasan diartikan sebagai suatu kondisi pelepasan yang “tanpa batas” terhadap potensi khususnya yang terkait fisikly. Sehingga arti kebebasan disini bersinggungan dengan nilai kemanusiaan yang menjadi kodrat manusia dalam memaknai sebuah dimensi-dimensi dalam kehidupannya.  Jika kebebasan ini berdasar pada fisikly semata, hal yang patut kita pertanyakan adalah seberapakah kebebasan itu sepenuhnya bisa terwujud. Artinya seandainya kebebasan yang seperti itu bisa mewujudkan diri sepenuhnya, maka ini akan berimbas pada sebuah anggapan yang kliru bahwa fisik manusia dalam mengiplementasikan kebebasan juga tak terbatas. Dan ini bertolak belakang dengan sebuah fakta bahwa tangan kita bisa mengangkat beban yang bebas kita tentukan beratnya. atau yang bertautan dengan nilai, bahwa perbuatan kita selalu memungkinkan membawa konsekuensi berupa benturan. Hal ini memberikan sebuah gambaran pada kita bahwa kebebasan yang hanya didasarkan pada fisik semata, adalah sebuah keangkuhan sekaligus menunjukkan kecacatan. sedangkan disisi lain walaupun dalam konteks kemanusiaanpun kebebasan mempunyai konotasi yang negative dikkarenakan arti sebuah kebebasan yang justru membatasi kebebasan orang lain.
Terus sesungguhnya kebebasan itu apa? apakah arti sebuah pertanyaan yang berangkat dari kebuntuan setelah munculnya kesadaran kebebasan yang membatasi kebebasan orang lain adalah bukanlah kebebasan? dua pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada sebuah perpindahan paradigm lama menuju sebuah anggapan baru yang masih buta dikarenakan belum tuntasnya kita melepaskan materialism dalam pikiran kita. Hal ini memungkinkan skeptisime melanda sebagai konsekuensi atas terputusnya “jembatan” antara yang materi dan yang non materi, antara raga dan jiwa. bagaimana kita bisa mengurai sebuah pertanyaan ini sedang dalam waktu yang bersamaan kita masih tercipta dualism. Sesungguhnya keadaan semacam ini mengingatkan kita bahwa bongkahan-bongkahan cadas materialism akan mengalami kebuntuan yang serius dalam mengartikan kebebasan, jikalau tidak bisa dikatakan bahwa kebebasan yang diwujudkannya hanyalah sebuah kebebasan yang premature dan sekaligus tanpa nyawa.
Kebebasan seringkali kita dipersonifikasikan dalam puisi-puisi sebagai sebuah burung yang mengepakkan sayap kecilnya di keleluasaan langit. sesungguhnya keadaan semacam ini bukanlah pertunjukkan paradoks yang diukur secara “kuantitatif” antara sayap yang kecil dan luasnya langit. akan tetapi justru adanya “ terlepasnya” materialism sebagai satu-satunya unsure yang mendominasi unsure yang lain. Dan dari sinilah sesungguhnya babak baru untuk menfikirkan kemungkinan lain itu mendapat jawaban yang walaupun masih remang-remang. seandainya burung tersebut adalah analogi yang banyak digambarkan dipuisi-puisi, Sesungguhnya apakah yang ingin disampaikan oleh penulisnya? adalah terlepasnya “kebuntuan” atau stagnasi pada kondisi terbukanya keselarasan antara keseluruhan potensi diri, kesadaran dan sesuatu diluar dirinya (alam). keselarasan disini menggambarkan kesejenisan antara potensi manusia dan alam. Pikiran tidak bisa berpikir tentang apapun, bahkan memikirkan dirinya seandaianya pikiran dan sesuatu di luar dirinya tidak mempunyai “kesejenisan”. Perasaan manusia tidak akan berfungsi ketika alam tidak mencerminkan sebagai wadah bagi manusia untuk mengejawantahkan rasa kemanusiaanya di dalamnya. dan hal ini sekaligus sebagai bantahan terhadap sebuah materialism. Jadi jikalau ada seorang atheis yang beranggapan bahwa alam digerakkan oleh sebuah kekuatan yang buta, maka kita perlu menanyakan bagaimana sebuah kekuatan yang buta itu menggerakkan alam beserta tujuan yang dimilikinya, keadaan paradox ini sesungguhnya tidak bisa kita mengerti. Karena konsekuensi dari kebutaaan ini adalah terciptanya suatu kondisi yang disharmonitas, acak dan tidak bisa dimengerti oleh rasio sehat, walau sesederhana mungkin.
Keselarasan antara alam dan manusia yang kita bilang sebagai kebebasan bukanlah sebuah keadaan yang berimplikasi pada kebajikan yang dapat dihitung secara kuantitas dari sesuatu diluar manusia. Lagi-lagi anggapan semacam ini masih menyisakan kemungkinan yang luput dari hal yang kita mengerti bahwa tiap-tiap entitas alam saling mempunyai hubungan yang tak terpisahkan pada dan dalam kediriannya. Disisi lain anggapan semacam ini masih memperteguh bahwa tiap-tiap kedirian tersembunyi kekhasan yang terpisah dari satu dan lainnya. sehingga masih memberikan ruang bagi terciptanya akhir kondisi chaos. sebagai contoh konkrit, adanya beragam jenis binatang, sesungguhnya mereka terikat dalam sebuah hokum, yaitu hokum keseimbangan. Keseimbangan ini tercipta dengan mengambil sebuah bentuk rantai makanan.walaupun dalam proses mangsa dan dimangsa pada binatang itu mencerminkan kondisi chaos, akan tetapi itu bukanlah sebuah akhir. Ada sebuah “tujuan besar” yang menciptakan kondisi tersebut untuk menciptakan sebuah keseimbangan, akan tetapi cara seperti tidak berlaku pada manusia. Hal ini setidaknya memberikan gambaran, ketika manusia mampu mengfungsikan semua potensi yang dimilikinya, ini sama artinya dengan pelepasan batasan-batasan yang mengungkum pada sebuah anggapan dan tindakan yang terbatas. Lagi lagi kita berhadapan dengan sebuah persoalan yang rumit terkait arti mengfungsikan semua potensi diri, bagaimana sesuatu yang kita fungsikan adalah potensi yang juga berada dalam diri kita. Seandainya potensi kita analogikan sebagai robot maka kita cukup memencet tombol yang dibutuhkan supaya robot melakukan apa yang di inginkan si subyek. Sesungguhnya daya apa yang menggerakkan seluruh fakultas diri yang merupakan bagian integralnya. Seandainya daya tersebut hanya menggerakkan fakultas diri yang hanya merangkum hal-hal yang factual dan materialistic dapatlah kita beranggapan bahwa keadaan semacam ini bukanlah sebuah rasio yang terbuka, karena hanya mereduksi menjadi unsure inderawi saja. hal ini akan memperkuat bahwa keselarasan adalah sebuah “tujuan” yang tersembunyi di balik hal yang bersifat material. Sehingga dengan ini akan membuka jalan yang lempang dan terbuka untuk memahami banyak hal dalam kesatuan yang aktif dan dinamis. dan disinilah wilayah kebebasan itu menyata sebagai hal yang dinamis. Sebuah kebebasan yang tidak seperti di kontruksi fenomena yang ada dalam filsafat modern dan “anaknya” scientific. dan disinilah implementasi dari kebebasan itu menciptakan kebebasan lainnya dikarenakan kebebasan itu bertalian erat dengan kebajikan, keadilan dan nilai-nilai luhur lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar