Cinta
Tanah Air Bagian dari Iman
Bangsa yang besar adalah
sebuah Bangsa yang menghormati para pahlawannya. Sering kita dengar kata
mutiara semacam ini. Barangkali kita akan mempertanyakan dengan keingin tahuan
yang besar, sebenarnya apakah relevansi sebuah bangsa yang besar dengan para
pahlawan??cukup singkat jawabannya,sangat erat (hehe…). Ketiadaan rasa hormat
warga Negara terhadap jasa para pahlawan adalah sebentuk refleksi bahwa
sesungguhnya tiada pula kebesaran manusia terhadap ruang lingkup hidupnya dan
terhadap dirinya sendiri.
Pahlawan adalah sebuah
fakta, yang kalau kita tidak boleh mempersempit artinya hanya berkala pada masa
lampau. Akan tetapi sifat kepahlawanan adalah sebuah gambaran seorang manusia
yang memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang sedang dijajah. Dijajah
secara fisik, dijajah secara mental, dijajah secara ilmu pengetahuan apalagi
dalam sebuah zaman modern seperti ini, sehingga lebih lebar lagi spectrum
penjajahan dalam multi dimensia pada bangsa yang kita cintai, Bangsa Indonesia .
Benarlah bahwa subtansi dari sebuah perjuangan adalah rasa cinta terhadap
kehidupan yang telah dianugrahkan Allah swt kepada manusia dan berusaha untuk
menjaga harmoni kehidupan ini.
Tidaklah mengherankan
apabila ahli pikir mengatakan bahwa manusia adalah maklhuk yang rumit sekaligus
mengagumkan. Kerumitannya bukan terletak pada sisi fisiologisnya, karena boleh
jadi dalam keadaan fisik manusia bisa saja di hamper samakan dengan kera. Tapi kita
akan heran bahwa penyamaan semacam ini membuat kita akan merasa dilecehkan. Dan
ternyata perasaan dilecehkan ini bukanlah sebuah perasaan yang tidak
menggambarkan apa-apa selain penilaiaan kita terkait estetika sedang
menyangkalnya. Sebuah penyangkalan akibat dari perbandingan yang disadari dan
difikirkan.
Manusia yang berpikir
adalah manusia yang mencoba untuk menunjukan pada dunia akan keberadaanya.
Sekaligus sebagai hal prinsip yang telah dititahkan Allah swt untuk menjadi
khalifah di muka bumi ini. Tentunya hal ini menunjukkan pada kita bahwa usaha
manusia dalam maningkatkan kualitas diri dengan terus menerus belajar adalah
perintah Allah swt dan Rosul-Nya. Sebaliknya ketiadaan usaha manusia untuk
meningkatkan kualitas diri adalah sebagai bentuk pengabaiaan terhadap perintah
Allah dan rosul-Nya.
Signifikansi manusia
yang telah berada dalam sebuah ruang hidup yang bernama masyarakat bangsa
adalah pengejawantahan akan citra kemanusiaanya yang khas, yaitu pengenalan
terhadap yang baik dan buruk. Akan tetapi kita terasa dituntut untuk lebih
memahami bahwa kebaikan dan keburukan bukanlah sesuatu yang sederhana saja
dalam sebuah masyarakat yang telah kompleks system-sistemnya. Tumpang tindih
nilai tidak dapat terelakkan sebagai konsekuensi dari kompleksitas dinamika
yang terus merangkak maju. Akan tetapi kemanuisaan kita selalu bersuara dalam
relung-relung hati untuk terus mengejawantahkan citra kemanusiaan yang
berkeTuhanan yang mengarahkan selalu berpihak pada kebenaran dan selalu
berusaha untuk mengeliminasi keburukan.
Hal diatas adalah
sebuah gambaran betapa wujud kepahlawanan bukanlah sebuah sifat yang dibingkai
oleh ruang dan waktu sehingga apabila wujud kepahlawanan itu telah membuka
lembaran waktu dengan pergantian hari bulan dan tahun usai sudah arti dan
maknanya. Ia adalah suatu gambaran jiwa yang harus dipupuk dengan kemampuan dan
potensi yang ada pada diri manusia dalam meleburkan diri dalam kehidupan. Dan
ia selalu menunggu manusia-manusia yang “terpanggil” untuk brkontribusi
melakukan kebaikan walaupun dalam sekala sekecil apapun.
Amar ma’ruf nahi munkar
menggelar makna subtansinya tidak dengan ideology warna apa atau berpegang pada
golongan apa, akan tetapi termaknai secara terbuka sebagai perbaikan kehidupan
manusia dan semua unsure kehidupan lainnya dengan cara yang dibenarkan dalam
agama. Apabila Allah swt menciptakan segala sesuatunya itu ada pasangannya
seperti halnya baik dan buruk, bukan berarti sebuah keburukan mempunyai nilai
yang sama dengan kebaikan dalam menciptakan sebuah harmoni kehidupan. Keburukan
(bisa dalam bentuk isi pikiran maupun perbuatan) adalah sebuah pilihan manusia
sendiri sebagai konsekuensi memaknai hidupnya. Dan keburukan tidaklah boleh
dipandang sebagai instrument yang harus ada untuk menunggu kebaikan muncul
untuk menyeimbangkannya. Begitu juga kebaikan bukanlah di-ada-kan oleh Allah
swt sebagai imbangan adanya keburukan, sehingga akan mensejajarkan nilai
keduanya sebagai cara untuk menciptakan harmoni. masihkah kita menganggap bahwa
pengabdian kita terhadap Tuhan hanya sebatas ritualitas yang tanpa kita
jelmakan dalam kecintaan kita pada kehidupan??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar