Minggu, 01 April 2012


Cinta Tanah Air Bagian dari Iman

Bangsa yang besar adalah sebuah Bangsa yang menghormati para pahlawannya. Sering kita dengar kata mutiara semacam ini. Barangkali kita akan mempertanyakan dengan keingin tahuan yang besar, sebenarnya apakah relevansi sebuah bangsa yang besar dengan para pahlawan??cukup singkat jawabannya,sangat erat (hehe…). Ketiadaan rasa hormat warga Negara terhadap jasa para pahlawan adalah sebentuk refleksi bahwa sesungguhnya tiada pula kebesaran manusia terhadap ruang lingkup hidupnya dan terhadap dirinya sendiri.
Pahlawan adalah sebuah fakta, yang kalau kita tidak boleh mempersempit artinya hanya berkala pada masa lampau. Akan tetapi sifat kepahlawanan adalah sebuah gambaran seorang manusia yang memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang sedang dijajah. Dijajah secara fisik, dijajah secara mental, dijajah secara ilmu pengetahuan apalagi dalam sebuah zaman modern seperti ini, sehingga lebih lebar lagi spectrum penjajahan dalam multi dimensia pada bangsa yang kita cintai, Bangsa Indonesia . Benarlah bahwa subtansi dari sebuah perjuangan adalah rasa cinta terhadap kehidupan yang telah dianugrahkan Allah swt kepada manusia dan berusaha untuk menjaga harmoni kehidupan ini.
Tidaklah mengherankan apabila ahli pikir mengatakan bahwa manusia adalah maklhuk yang rumit sekaligus mengagumkan. Kerumitannya bukan terletak pada sisi fisiologisnya, karena boleh jadi dalam keadaan fisik manusia bisa saja di hamper samakan dengan kera. Tapi kita akan heran bahwa penyamaan semacam ini membuat kita akan merasa dilecehkan. Dan ternyata perasaan dilecehkan ini bukanlah sebuah perasaan yang tidak menggambarkan apa-apa selain penilaiaan kita terkait estetika sedang menyangkalnya. Sebuah penyangkalan akibat dari perbandingan yang disadari dan difikirkan.
Manusia yang berpikir adalah manusia yang mencoba untuk menunjukan pada dunia akan keberadaanya. Sekaligus sebagai hal prinsip yang telah dititahkan Allah swt untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Tentunya hal ini menunjukkan pada kita bahwa usaha manusia dalam maningkatkan kualitas diri dengan terus menerus belajar adalah perintah Allah swt dan Rosul-Nya. Sebaliknya ketiadaan usaha manusia untuk meningkatkan kualitas diri adalah sebagai bentuk pengabaiaan terhadap perintah Allah dan rosul-Nya.
Signifikansi manusia yang telah berada dalam sebuah ruang hidup yang bernama masyarakat bangsa adalah pengejawantahan akan citra kemanusiaanya yang khas, yaitu pengenalan terhadap yang baik dan buruk. Akan tetapi kita terasa dituntut untuk lebih memahami bahwa kebaikan dan keburukan bukanlah sesuatu yang sederhana saja dalam sebuah masyarakat yang telah kompleks system-sistemnya. Tumpang tindih nilai tidak dapat terelakkan sebagai konsekuensi dari kompleksitas dinamika yang terus merangkak maju. Akan tetapi kemanuisaan kita selalu bersuara dalam relung-relung hati untuk terus mengejawantahkan citra kemanusiaan yang berkeTuhanan yang mengarahkan selalu berpihak pada kebenaran dan selalu berusaha untuk mengeliminasi keburukan. 
Hal diatas adalah sebuah gambaran betapa wujud kepahlawanan bukanlah sebuah sifat yang dibingkai oleh ruang dan waktu sehingga apabila wujud kepahlawanan itu telah membuka lembaran waktu dengan pergantian hari bulan dan tahun usai sudah arti dan maknanya. Ia adalah suatu gambaran jiwa yang harus dipupuk dengan kemampuan dan potensi yang ada pada diri manusia dalam meleburkan diri dalam kehidupan. Dan ia selalu menunggu manusia-manusia yang “terpanggil” untuk brkontribusi melakukan kebaikan walaupun dalam sekala sekecil apapun.
Amar ma’ruf nahi munkar menggelar makna subtansinya tidak dengan ideology warna apa atau berpegang pada golongan apa, akan tetapi termaknai secara terbuka sebagai perbaikan kehidupan manusia dan semua unsure kehidupan lainnya dengan cara yang dibenarkan dalam agama. Apabila Allah swt menciptakan segala sesuatunya itu ada pasangannya seperti halnya baik dan buruk, bukan berarti sebuah keburukan mempunyai nilai yang sama dengan kebaikan dalam menciptakan sebuah harmoni kehidupan. Keburukan (bisa dalam bentuk isi pikiran maupun perbuatan) adalah sebuah pilihan manusia sendiri sebagai konsekuensi memaknai hidupnya. Dan keburukan tidaklah boleh dipandang sebagai instrument yang harus ada untuk menunggu kebaikan muncul untuk menyeimbangkannya. Begitu juga kebaikan bukanlah di-ada-kan oleh Allah swt sebagai imbangan adanya keburukan, sehingga akan mensejajarkan nilai keduanya sebagai cara untuk menciptakan harmoni. masihkah kita menganggap bahwa pengabdian kita terhadap Tuhan hanya sebatas ritualitas yang tanpa kita jelmakan dalam kecintaan kita pada kehidupan??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar