GURU DAN FILSAFAT
Oleh: David Kurniahuda
Tidak kita ingkari banyak sekali
suatu anggapan yang mengatakan bahwa profesi guru merupakan suatu bentuk
aktifitas tranformasi pengetahuan dari Subyek (guru) ke obyek (siswa). Akan
tetapi anggapan semacam ini merupakan bentuk penyederhanakan apabila di lihat
dari subtansi dari proses pembelajaran itu sendiri. Sebuah bentuk
penyederhanaan yang mengingkari betapa dalam proses pembelajaran adalah suatu
aktifitas yang hidup dan penuh makna.
Guru dikatakan sebagai tonggak bagi
perkembangan suatu bangsa. Dan hal ini tidak berelasi bahwa suatu perkembangan
bangsa hanya ditunjang oleh seberapa kualitasnya out put pendidikan mampu
“mengumpulkan” ilmu pengetahuan dalam otak siswa. proses pembelajaran bukanlah
suatu aktifitas yang berulang-ulang dalam mereduksi keutuhan manusia. Seberapa derasnya arus
globalisasi yang mampu membuat kita mendapatkan informasi apapun harus kita
pandang sebagai wadah pembelajaran, bukan sebagai “barang jadi” yang membuat
kita terlena hanya untuk menjadi obyek dalam regulasi perkembangan zaman yang
mengarah pada materialis hedonism. suatu gambaran diatas adalah ibarat sebuah
titik yang menandai bahwa pendidikan tidaklah boleh melupakan subtansi
kemanusiaanya.
Sisi lain dari fenomena yang ada
dalam pendidikan adalah banyaknya guru terjebak dalam sebuah rutinitas dalam
pengajaran tanpa menjadikan tujuan dasar pendidikan sebagi hal yang patut untuk
diprioritaskan. Pengajaran menjadi sebuah aktifitas yang mekanis ini sebagai
konsekuensi atas kekurangmampuan guru untuk memamahi bahwa proses pembelajaran
dalam kelas bukan semata menyampaikan ilmu pengetahuan. Sebuah angggapan
semacam ini akan menghilangkan kepekaan guru dalam melihat potensi siswa,
sekaligus dalam metode pengembangan potensi siswa tersebut. Seandainya usaha
ini dilakukan tanpa sebuah pengetahuan yang mendasar tentang manusia sebagai
individu yang unik hanya mengarah pada tujuan-tujuan pragmatis dan temporer. Proses
pengajaran hanya mengaitkan hal-hal yang berada pada permukaan dalam sebuah
materi pelajaran yang ada. Atau hal yang kurang baik dalam proses pengajaran
adalah penekanan hafalan sebagai suatu metode, yang tanpa mengajak siswa untuk
mengkaji subtansi materi yang ada secara kontekstual. Sehingga siswa kurang
mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Dengan metode seperti ini siswa
lambat laun tertarik oleh sebuah tuntutan-tuntutan dari luar tanpa
mempertimbangkan pemahamannya dari dalam (nilai-nilai kemanusiaan). Karena
sesungguhnya proses pembelajaran yang tidak menciptakan bentuk-bentuk dialekika
dalam kehidupan dan pengalaman bermakna bagi siswa sama halnya memiskinkannya
dari sebuah “kebaikan-kebaikan” yang dijadikan tujuan dari hasil aktualisasi
dari pendidikan yang dia peroleh untuk diterapkan dalam kehidupannya. Dan kita
bisa menebak, kemungkinan apa yang kan terjadi di kemudian hari jika out put
pendidikan berproses dalam model pendidikan yang seperti ini.
Dari gambaran diatas sepertinya
filsafat menjadi suatu hal yang patut untuk dijadikan pertimbangan sebagai problem
solving dalam menjembatani “kerumitan” dalam hal ini pengetahuan guru
tentang manusia (siswa). Filsafat adalah sebuah seni dalam memahami segala sesuatu
secara mendasar. Dengan filsafat, guru akan mampu bertanya kemungkinan yang
sudah terang (sebagai pengembangan) dan tersembunyi (sebagai inovasi) dari
materi, proses pembelajaran dan permasalahan siswa yang kemudian dipaparkan
sebagai konstruksi pemikiran. Sehingga dengan ini guru memiliki instrument yang
mampu mendiagnosis permasalahan yang ada lebih mengena, kontekstual dan
sekaligus mengembangkan menuju pada perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan. Akan
tetapi seringkali persoalan-persoalan yang terlihat sederhana dalam proses
belajar siswa bisa jadi diakibatkan oleh kekaburan pemahaman guru untuk melihat
hal itu lebih integral dan menyeluruh selain hanya terlihat sebagai serpihan
yang seolah-olah terpisah dari satu dan lainnya.
Apabila kita analogikan filsafat dan
guru, seperti halnya filsafat dan logika. Bukan logika yang mengarahkan
filsafat pada kebenaran, akan tetapi logika mengasah berpikir filosofis lebih
tajam untuk menuju pada kebenaran atau setidaknya mendekati kebenaran.
Kebenaran dalam konteks tujuan pendidikan sendiri tidak bersifat materialism,
artinya ilmu pengetahuan yang diajarkan sebagai bahan ajar di kelas
sesungguhnya siswa tidak hanya mengenali materi ajar sebagai
“bongkahan-bongkahan” material sebagai entitas yang saling berdiri sendiri. Spesialisasi
bidang pengajaran harus dipandang sebagai bentuk konsentrasi pada bidang
tertentu yang dilakukan sebagai bentuk usaha untuk terus mengembangkan dengan
tanpa menghilangkan keterkaitan yang vital antar bidang. Sehingga dalam waktu
yang bersamaan siswa mampu memenuhi tuntutan sebagai pembelajar sekaligus
sebagi insan yang sadar akan nilai-nilai kehidupan. Disinilah sesungguhnya
peran filsafat dalam pendidikan.
Sebagai penutup, penulis ingat dalam
sebuah buku yang dibaca (lupa judulnya) menceritakan ketika Heroshima dan
Nagasaki di bom oleh Amerika dan sekutu dengan akibat kerusakan ekosistem yang
luar biasa terdapat sebuah kejadian yang menurut saya mencengangkan, hal yang
ditanyakan pertama kali oleh Kaisar adalah “Berapa gurukah yang masih
tersisa..?” dengan kemajuan yang dimiliki oleh Jepang saat ini telah
menunjukkan betapa peran guru luar biasa pentingnya bagi kemajuan suatu bangsa.
Dan kita sebagai bangsa yang menganut nilai-nilai agama dan budaya yang berbeda
(dengan tanpa berusaha untuk membenturkan perbedaan agama dan budaya) mempunyai
keunikan tersendiri untuk memaknai
kemajuan suatu bangsa sebagai suatu hasil pendidikan yang mengkaitkan secara
utuh aspirasi dari setiap potensi yang dipunyai oleh manusia sebagai Anugrah
Tuhan ,dengan tanpa reduksi dan dalam payung keadilan.
Kamulan,
21 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar