Jumat, 21 September 2012


GURU DAN FILSAFAT

Oleh: David Kurniahuda

Tidak kita ingkari banyak sekali suatu anggapan yang mengatakan bahwa profesi guru merupakan suatu bentuk aktifitas tranformasi pengetahuan dari Subyek (guru) ke obyek (siswa). Akan tetapi anggapan semacam ini merupakan bentuk penyederhanakan apabila di lihat dari subtansi dari proses pembelajaran itu sendiri. Sebuah bentuk penyederhanaan yang mengingkari betapa dalam proses pembelajaran adalah suatu aktifitas yang hidup dan penuh makna.
Guru dikatakan sebagai tonggak bagi perkembangan suatu bangsa. Dan hal ini tidak berelasi bahwa suatu perkembangan bangsa hanya ditunjang oleh seberapa kualitasnya out put pendidikan mampu “mengumpulkan” ilmu pengetahuan dalam otak siswa. proses pembelajaran bukanlah suatu aktifitas yang berulang-ulang dalam mereduksi keutuhan manusia. Seberapa derasnya arus globalisasi yang mampu membuat kita mendapatkan informasi apapun harus kita pandang sebagai wadah pembelajaran, bukan sebagai “barang jadi” yang membuat kita terlena hanya untuk menjadi obyek dalam regulasi perkembangan zaman yang mengarah pada materialis hedonism. suatu gambaran diatas adalah ibarat sebuah titik yang menandai bahwa pendidikan tidaklah boleh melupakan subtansi kemanusiaanya.
Sisi lain dari fenomena yang ada dalam pendidikan adalah banyaknya guru terjebak dalam sebuah rutinitas dalam pengajaran tanpa menjadikan tujuan dasar pendidikan sebagi hal yang patut untuk diprioritaskan. Pengajaran menjadi sebuah aktifitas yang mekanis ini sebagai konsekuensi atas kekurangmampuan guru untuk memamahi bahwa proses pembelajaran dalam kelas bukan semata menyampaikan ilmu pengetahuan. Sebuah angggapan semacam ini akan menghilangkan kepekaan guru dalam melihat potensi siswa, sekaligus dalam metode pengembangan potensi siswa tersebut. Seandainya usaha ini dilakukan tanpa sebuah pengetahuan yang mendasar tentang manusia sebagai individu yang unik hanya mengarah pada tujuan-tujuan pragmatis dan temporer. Proses pengajaran hanya mengaitkan hal-hal yang berada pada permukaan dalam sebuah materi pelajaran yang ada. Atau hal yang kurang baik dalam proses pengajaran adalah penekanan hafalan sebagai suatu metode, yang tanpa mengajak siswa untuk mengkaji subtansi materi yang ada secara kontekstual. Sehingga siswa kurang mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna. Dengan metode seperti ini siswa lambat laun tertarik oleh sebuah tuntutan-tuntutan dari luar tanpa mempertimbangkan pemahamannya dari dalam (nilai-nilai kemanusiaan). Karena sesungguhnya proses pembelajaran yang tidak menciptakan bentuk-bentuk dialekika dalam kehidupan dan pengalaman bermakna bagi siswa sama halnya memiskinkannya dari sebuah “kebaikan-kebaikan” yang dijadikan tujuan dari hasil aktualisasi dari pendidikan yang dia peroleh untuk diterapkan dalam kehidupannya. Dan kita bisa menebak, kemungkinan apa yang kan terjadi di kemudian hari jika out put pendidikan berproses dalam model pendidikan yang seperti ini.
Dari gambaran diatas sepertinya filsafat menjadi suatu hal yang patut untuk dijadikan pertimbangan sebagai problem solving dalam menjembatani “kerumitan” dalam hal ini pengetahuan guru tentang manusia (siswa). Filsafat adalah sebuah seni dalam memahami segala sesuatu secara mendasar. Dengan filsafat, guru akan mampu bertanya kemungkinan yang sudah terang (sebagai pengembangan) dan tersembunyi (sebagai inovasi) dari materi, proses pembelajaran dan permasalahan siswa yang kemudian dipaparkan sebagai konstruksi pemikiran. Sehingga dengan ini guru memiliki instrument yang mampu mendiagnosis permasalahan yang ada lebih mengena, kontekstual dan sekaligus mengembangkan menuju pada perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan. Akan tetapi seringkali persoalan-persoalan yang terlihat sederhana dalam proses belajar siswa bisa jadi diakibatkan oleh kekaburan pemahaman guru untuk melihat hal itu lebih integral dan menyeluruh selain hanya terlihat sebagai serpihan yang seolah-olah terpisah dari satu dan lainnya.
Apabila kita analogikan filsafat dan guru, seperti halnya filsafat dan logika. Bukan logika yang mengarahkan filsafat pada kebenaran, akan tetapi logika mengasah berpikir filosofis lebih tajam untuk menuju pada kebenaran atau setidaknya mendekati kebenaran. Kebenaran dalam konteks tujuan pendidikan sendiri tidak bersifat materialism, artinya ilmu pengetahuan yang diajarkan sebagai bahan ajar di kelas sesungguhnya siswa tidak hanya mengenali materi ajar sebagai “bongkahan-bongkahan” material sebagai entitas yang saling berdiri sendiri. Spesialisasi bidang pengajaran harus dipandang sebagai bentuk konsentrasi pada bidang tertentu yang dilakukan sebagai bentuk usaha untuk terus mengembangkan dengan tanpa menghilangkan keterkaitan yang vital antar bidang. Sehingga dalam waktu yang bersamaan siswa mampu memenuhi tuntutan sebagai pembelajar sekaligus sebagi insan yang sadar akan nilai-nilai kehidupan. Disinilah sesungguhnya peran filsafat dalam pendidikan.
Sebagai penutup, penulis ingat dalam sebuah buku yang dibaca (lupa judulnya) menceritakan ketika Heroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika dan sekutu dengan akibat kerusakan ekosistem yang luar biasa terdapat sebuah kejadian yang menurut saya mencengangkan, hal yang ditanyakan pertama kali oleh Kaisar adalah “Berapa gurukah yang masih tersisa..?” dengan kemajuan yang dimiliki oleh Jepang saat ini telah menunjukkan betapa peran guru luar biasa pentingnya bagi kemajuan suatu bangsa. Dan kita sebagai bangsa yang menganut nilai-nilai agama dan budaya yang berbeda (dengan tanpa berusaha untuk membenturkan perbedaan agama dan budaya) mempunyai keunikan tersendiri  untuk memaknai kemajuan suatu bangsa sebagai suatu hasil pendidikan yang mengkaitkan secara utuh aspirasi dari setiap potensi yang dipunyai oleh manusia sebagai Anugrah Tuhan ,dengan tanpa reduksi dan dalam payung keadilan.


                                                                                                Kamulan, 21 September 2012

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar